Friday, March 2, 2007

Most Wanted; The Heroes!


Mencari Pahlawan Indonesia. Buku lawas yang baru sekarang tamat kubaca. Entah mengapa dulu aku enggan untuk membaca buku ini. Padahal saat itu aku masih berstatus mahasiswa dan sedang diberikan amanah di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kampusku. Disaat teman-temanku mengatakan bahwa buku ini bagus, aku tetap saja tidak tertarik. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Kerinduan akan datangnya sosok penyelamat senantiasa ada dalam hati-hati setiap kaum yang merasakan kedzaliman. Sosok yang akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik. Sungguh, bukan sesuatu yang buruk memimpikan hal tersebut. Karena sesungguhnya itulah tabiat orang yang terdzalimi, selalu menunggu datangnya penyelamatan.
Penyelamat yang akan dipanggil sebagai pahlawan. Pahlawan yang akan merubah nasib mereka, dari ketertindasan menuju pembebasan. Dari keterkungkungan menuju kemerdekaan. Dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Dan dari kedzaliman menuju keadilan. Adakah yang akan merubah mimpi-mimpi tersebut?.
Ah, sepertinya saya tak pantas berbicara tentang kepahlawanan. Biarkan saja Ust. Anis Matta yang berbicara lewat bukunya tersebut. Dan bagi teman-teman yang ingin mempelajari teori dan praktek kepahlawanan, silahkan baca buku tersebut. Insya Allah tidak akan rugi. Biarkan saya hanya bercerita tentang pendapat pribadi saja.
Teringat tulisan Ust. Anis Matta, Pahlawan tidak pernah muncul dengan sendirinya. Dia selalu dimunculkan oleh keadaan yang mendukungnya menjadi pahlawan. Baik secara internal maupun eksternal. Tidak salah satunya, melainkan kedua-duanya. Hari ini kita masih biasa berkumpul dalam pertemuan pekanan. Pertemuan yang mengumpulkan dengan saudara seiman kita. Pertemuan yang diibaratkan timbangan ia adalah poros tengahnya, yang akan menjadi penyeimbang dua sisinya. Apa yang kita rasakan ketika kita sedang dan setelah mengikutinya? Adakah sesuatu yang meledak-ledak dalam jiwa ataukah tak ada efek apapun?.
Sesungguhnya, pembinaan dalam pertemuan pekanan adalah sebuah rekayasa internal kepahlawanan. Rekayasa yang bertujuan melahirkan pahlawan-pahlawan pengibar panji kebenaran. Rekayasa yang akan membangunkan sebuah kekuatan besar yang masih tertidur dalam jiwa-jiwa kita. Ingatlah pahlawan-pahlawan yang dilahirkan generasi Islam pertama. Pahlawan yang mengguncangkan dunia dengan keistimewaan yang mereka miliki. Bukankah mereka adalah binaan-binaan Rasulullah, yang lahir dari rahim tarbiyah yang kuat. Dan tentu kita juga ingat bahwa sebelum mereka mengukir kepahlawanannya, mereka bukan siapa-siapa.
Kemudian apa perbedaannya dengan kita?. Bukankah kita juga mengikuti tarbiyah seperti yang dulu dicontohkan Rasulullah?. Menurut saya perbedaaannya adalah, tarbiyah Rasulullah mempunyai visi mencetak para pahlawan dan pemimpin yang akan memimpin dunia dengan panji Islam. Sementara jika hari ini kita belum merasakan sesuatu dari sentuhan tarbiyah kita, maka bisa ada dua alasan. Belum tersampaikannya visi tarbiyah oleh murabbi kita atau kita sendiri yang tidak bisa mencerna dan memahami visi tarbiyah. Wallahu a’lam.
Saat ini, kita juga bukan dan belum menjadi siapa-siapa. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk kita diam disini tanpa meghasilkan apapun dan kemudian menjadi manusia biasa. Karena manusia biasa akan hilang tergerus oleh jaman. Tetapi godaan menjadi manusia biasa sangatlah kuat. Mungkin ada sebagian dari kita yang tetap bertahan tetapi ada juga yang tidak tahan kemudian kembali manusia biasa. Padahal jalan menuju sejarah kepahlawanan hanya tinggal menghitung hari.
Pahlawan sama dengan manusia yang lain. Hanya diberikan keistimewaan tersendiri oleh Allah. Keistimewaan internal yang bertemu dengan kondisi eksternal yang mendukungnya lahir menjadi seorang pahlawan. Bukan pahlawan untuk dirinya sendiri, tetapi pahlawan untuk ummat ini. Pahlawan yang mampu membebaskan umat dari ketersesatan. Membawa umat pada kehidupan yang berkeadilan dan berkesejahteraan.
Kepahlawanan bukan menunggu tetapi menjemput. Kepahlawanan bukan meminta tetapi merebut. Kepahlawanan bukan diberi tetapi diusahakan. Tidak ada seseorang pun yang menjadi pahlawan dengan sendirinya, tanpa melewati sebuah masa inkubasi yang membuatnya sadar akan potensi pribadi dan memahami realitas disekitarnya. Kemudian dengan dua modal tersebut seseorang mengambil perannya dalam sebuah sejarah dan kemudian menjadi pahlawan.
Menjadi pahlawan memang tidak sama dengan menjadi orang yang sempurna. Tetapi menjadi pahlawan adalah proses menuju kesempurnaan. Jika hari ini kita menemukan kapasitas diri dan realitas lingkungan kita menunjang untuk menentukan sejarah hidup, maka jemput dan ambillah peran sejarah tersebut. Tidak ada lagi waktu untuk berdiam diri, karena masa ini adalah masa pembuktian untuk kita. Pembuktian bahwa kita mampu mempunyai sejarah sendiri. Sejarah yang akan mengukir nama kita dengan tinta emas kepahlawanan. Jangan sampai kita tidak menjadi apa-apa karena kita tergoda dalam kemapanan dan akhirnya kita terdiam untuk kemudian mati dalam kesendirian. Wallahu a'lam.
”Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna namun tidak mau menjadi sempurna” (Abu Tammam).

Serang, Dipenghujung malam, 02 Maret 2007

Wednesday, February 28, 2007

Konsistensi


Judul Buku : Konsistensi; Menyongsong Kematian Husnul Khatimah
Penulis : Muhammad Hasan dan Muhammad Anis Matta
Penerbit : Fitrah Rabbani, Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2006
Halaman : 101 hal, 11,7 x 18,5 cm
ISBN : 979-97491-2-14

Buku tipis yang sulit untuk ku pahami, kesanku pada buku ini. Buku yang kubeli sekitar 2 bulan lalu. Entah mengapa saat itu aku tidak langsung menamatkan membaca buku ini, mungkin karena sulit dipahami jadi aku menangguhkan membacanya. Dan kemarin aku memaksakan diri membaca kembali buku ini. Dan selesai sekitar 3 jam dengan hasil kepala terasa berat dan pusing.
Konsistensi adalah tema global buku ini. Konsisten adalah sikap yang akan membawa kita pada sebuah tujuan hidup. Sikap yang akan membawa kita pada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Bukankah Allah akan selalu menolong hamba yang senantiasa dekat dengan-Nya. Bukankah Allah telah menjanjikan baginya sebuah balasan yang sesuai dengan usahanya. Bukankah kita juga tahu bahwa Allah tidak akan pernah bisa mengingkari semua janji-janji-Nya.
Amal yang banyak bukan berarti membuat seseorang menjadi ahli surga. begitu juga sebaliknya, Amal yang sedikit bukan berarti akan membuat manusia dimasukkan ke neraka. Seperti kata Anis Matta, adalah penting untuk mendaki sampai ke puncak gunung, tetapi jauh lebih penting untuk berusaha bertahan di puncak gunung itu. Bahwasanya penting untuk berkarya, tetapi jauh lebih penting adalah terus berkarya. Bahwasanya penting untuk memberi kontribusi tetapi lebih penting adalah tetap memberi kontribusi. Ya, itulah konsistensi.
Jika diibaratkan, Konsistensi adalah sebuah pendakian yang melelahkan. Pendakian yang mebutuhkan energi jiwa tidak sedikit. Pendakian yang akan melakukan proses penyaringan untuk menilai siapakah dari kita yang akan berada dipuncak dan siapa dari kita yang menjadi lemah dan akhirnya berguguran di tengah perjalanan.
Konsistensi akan mudah dibagun manakala kita mempunyai energi jiwa yang dahsyat. Energi yang berasal dari ingatan dan kerinduan kepada kehidupan setelah kehidupan. Yakni kematian. Kerinduan kepada surga akan memberikan energi jiwa untuk melakukan kebaikan. Sedangkan ketakutan kepada neraka akan memberi kekuatan untuk mengendalikan diri dari perbuatan buruk.
Konsistensi adalah seperti yang digambarkan Rasulullah dalam haditsnya : “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang berkesinambungan, walaupun hanya sedikit”. (HR. Imam Muslim). Bayangkan jika amal yang berkesinambungan tersebut banyak jumlahnya dan kita bisa tetap menjaganya. Apa balasan dari Allah untuk kita?.
Wallahu a’lam.

Serang, 28 Februari 2007
Di Siang yang redup

Tuesday, February 27, 2007

Kepada Kalian Mimpi Dakwah Kuwariskan


Puzzle Reformasi, sebuah kumpulan tulisan tentang reformasi. Karya keroyokan 23 orang aktifis kuterima sore ini. Bukan dikasih tetapi dibeli, tempo bulan depan baru dibayar. Bagiku buku ini terasa istimewa bukan karena isinya, tetapi karena penulisnya. Ya penulisnya, mereka adalah para aktivis dengan embel-embel kata dakwah kampus dibelakangnya. Mereka yang saat Reformasi membahana di Indonesia, masih memakai seragam putih biru dan didominasi dunia merah jambu Dan mungkin merasakan heroisme reformasi dari cerita para senior atau dari berkas-berkas yang terserak.
Puzzle Reformasi, berangkat dari sebuah idealisme dan romantika perubahan. Berawal dari mimpi kehidupan yang memenuhi relung hati. Mencurahkan pikiran untuk hidup yang lebih baik. Tidak ada lagi nestapa yang terdengar mengiris jiwa. Untuk perubahan demi menyongsong masa depan secerah pagi.
Teringat enam tahun lalu, membangun (kembali) pondasi dakwah kampus yang sempat terpuruk. Bermodal semangat untuk kehidupan kampus yang lebih baik. Begitu sulitnya melihat mahasiswa menenteng al-Quran dan melihat mahasiswi berjilbab rapi. Seakan semua itu hanya ada dalam mimpi. Aktifis dakwah pun masih bisa dihitung dengan jari, bahkan kalah jumlah dengan penulis Puzzle Reformasi.
Aku pernah bermimpi, dakwah akan memasuki setiap sendi kehidupan kampus. Tidak ada lagi hura-hura dan kemubadziran. Suasana Ruhiyah, fikriyah dan Harakiyah menjadi nafas kampus ini. Kehidupan kampus selalu diramaikan dengan majelis-majelis dzikir dan fikir, yang akan mampu melahirkan tokoh-tokoh pembaharu ditengah-tengah kegersangan ummat.
Teringat kisah penaklukkan Konstantinopel. Penaklukkan yang berawal dari sebuah mimpi yang terwariskan selama 8 abad lamanya. Mimpi yang dilontarkan Rasulullah saat perang Ahzab bersama turunnya surat Ar-Ruum ditengah-tengah umat. Mimpi yang membuat Yahudi dan Musyrikin tertawa membahana. Seraya mengejek bahwa mimpi itu adalah milik orang gila.
Mungkin aku dan pemilik mimpi dakwah kampus ini juga dianggap orang gila. Mimpi yang akan berakhir dengan sia-sia. Mimpi yang tidak akan pernah terwujud sampai kapanpun bahkan hingga aku menutup usia. Tapi tahukah bahwa sebagian mimpi itu sudah menjadi kenyataan. Dan hanya tinggal menunggu hari kemenangan itu akan datang.
Hingga saat ini mimpi itu masih kumiliki. Dan aku tidak ingin mimpi ini mati bersama perginya aku dari kampus ini. Aku ingin mimpi ini terwariskan kepada siapapun yang menginginkan dakwah menjadi nafas kehidupan. Aku ingin mimpi dakwah tetap abadi bersama umur para penyerunya. Dan akan terus terwariskan hingga dunia ini menutup senja.
Wajah-wajah tulus kupandang lekat pada sampul buku Puzzle Reformasi. 23 orang, jumlah yang sangat banyak bila dibandingkan dengan 6 tahun lalu. Aku berharap senyum mereka merupakan rindu kemenangan yang mendekati kenyataan. Rindu akan tegaknya kalimat Allah di muka bumi. Kepada kalianlah mimpi dakwah ingin kuwariskan. Kepada kalian yang juga mempunyai mimpi membumbung tinggi, setinggi langit yang terhampar tanpa tiang. Kepada kalian yang istiqomah dan beriltizam dengan seruan dakwah ini. Seruan yang akan membawa kita kepada derajat tertinggi di hadapan Ilahi.
Bermimpilah setinggi langit yang membiru. Kejarlah mimpi yang terlihat di ujung cakrawala. Tidak ada kata menyerah sebelum jiwa meninggalkan raga. Hanya ada satu kata yang akan terus membahana. Berjuang dan berjuang tiada kenal henti.
Kepada mujahid benteng kebenaran
Selalu rindu akan lahir kejayaan
Kepada pewaris tahta nan gemilang
Menapak tegak menyongsong masa depan
(Izzatul Islam)
Cijawa di penghujung malam, 26 Februari 2007

Monday, February 26, 2007

Ketika Cinta Bertasbih (Episode 1)


Judul buku : Ketika Cinta Bertasbih (episode 1)
Penulis : Habiburrahman El-Shirazy
Penerbit : Republika – Basmala
Hal : 477 hal, 20,5 x 13,5 cm
Cet. : Pertama, Februari 2007

Hidup memang mengharuskan kita untuk senantiasa berjuang dan berkorban. Berjuang karena hidup ini tidaklah mudah. Berkorban karena takdir tidak selamanya sesuai dengan harapan kita. Menurutku, inilah salah satu pesan yang hendak disampaikan pada karya terbaru Habiburrahman El-Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1.
Seperti hampir semua karyanya yang lain lain. Kang Abik masih mengeksplorasi pengalaman-pengalamannya sewaktu kuliah di Mesir. Novel ini berkisah tentang Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al-Azhar University bernama Khairul Azzam. Takdir Allah membawanya mengenal keindahan bumi para Nabi. Bertemu dengan para ulama yang memiliki keilmuan dan keikhlasan luar biasa. Ulama yang senantiasa berjuang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Takdir memang tidak selamanya sesuai dengan harapan manusia. Azzam yang punya tekad untuk kuliah, belajar dan lulus dengan nilai mumtaz atau jayyid jiddan serta berharap memecahkan rekor dengan menjadi Doktor tercepat, ternyata harus mengubur cita-cita tersebut. Sembilan tahun sudah Azzam kuliah di Al-Azhar, tetapi S1 belum dapat diselesaikannya. Bukan karena dia pemalas atau tidak pintar. Melainkan keadaan yang membuatnya melupakan harapan-harapan di awal dia menginjakkan kaki di Mesir.
Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja, mengumpulkan uang demi ibu dan ketiga adiknya nya di Indonesia. Disaat teman-teman satu angkatannya sudah banyak yang lulus dan pulang ke Indonesia atau sedang menyelesaikan program S2, Azzam masih saja sibuk dengan usahanya menjual Tempe dan Bakso sambil sesekali mencari tambahan melalui acaa-acara di KBRI.
Azzam tinggal di sebuah Flat dengan keempat temannya. Nasir, Fadhil, Ali dan Hafez. Mereka sama-sama dari Indonesia tetapi berbeda daerah. Di Novel ini setiap dari mereka memiliki konflik masing-masing dan digambarkan begitu menyentuh. Terutama Fadhil yang harus berkorban melupakan cinta yang pernah dipendam sekian lama. Hafez yang merasakan cinta setengah mati kepada adik Fadhil, Cut Mala. Kemudian Nasir yang hampir berurusan dengan mafia.
Sebagai mahasiswa kawakan yang dikenal jago masak. Azzam sering kali diminta bantuannya untuk menjadi juru masak dihampir setiap acara KBRI. kepiawaiannya inilah yang membawanya berkenalan dengan Eliana, putri Dubes Indonesia untuk Mesir. Kang Abik membuat sifat tokoh Azzam berbeda dengan tokoh Fahri pada novel Ayat-ayat Cinta. sosok Azzam digambarkan bersifat terbuka, cenderung berkata apa adanya dan punya prinsip yang tinggi. Sampai-sampai tidak pernah memikirkan komentar orang-orang tentang dirinya yang tidak lulus-lulus, dan tetap merahasiakan alasannya bekerja.
Sesuai dengan judulnya, konflik cinta dinovel ini dieksplorasi dengan sangat indah. Jauh dari kesan norak dan cengeng seperti kisah-kisah cinta di sinetron-sinetron kita. Kisah cinta setiap tokoh dibuat agar tidak menabrak koridor-koridor syar’i tetapi tetap menyentuh jiwa. Tengoklah cinta Fadhil dan Tiara, yang sekian lama merasakan cinta namun tetap dipendam karena mereka tahu cintanya belum halal. Tetapi karena rasa tinggi hati dan tidak mau mengakui cinta, mereka harus rela mengorbankan cinta demi sebuah persahabatan.
Azzam sendiri bukan tidak merasakan konflik cinta. Tetapi karena cintanya yang besar kepada Allah, Ibu dan ketiga adiknya, membuatnya tetap berpikir realistis dalam menghadapi cinta. Konflik cintanya dengan Eliana, seakan menguap ketika melihat perilakunya. Anna Alfathunnisa seakan terlupa dari pikirannya ketika ustadz Mujab, saudara Anna memintanya melihat diri hendak menyunting Anna. Cut Mala juga pernah mampir dalam pikirannya. Semuanya mampu dilewati dengan ketegaran yang luar biasa.
Konflik lain dinovel ini adalah munculnya agen Mosad yang sengaja dikirim untuk menghancurkan umat Islam. Dan yang terkena maslah ini adalah Faruq, Mahasiswa Indonesia teman Azzam yang sedang menyelesaikan program S2-nya. Antara satu tokoh dengan tokoh yang lain sebenarnya saling berhubungan, tetapi karena mereka disibukkan dengan menuntut ilmu pembicaraan mereka tidak pernah dihiasai dengan obrolan yang membuang waktu. Tetapi mungkin saja hal ini disengaja, karena novel ini sendiri memang disiapkan dua jilid. Jadi tokoh dan konflik yang diceritakan sengaja diperbanyak agar bisa nyembung dengan jilid ke-2 dari novel ini.
Pada novel ini, saya banyak belajar tentang perjuangan dan pengorbanan. Sebagai seorang anak tertua yang memiliki 5 adik, saya juga berharap agar adik-adik saya bisa meraih kesuksesan. Dan saya harus bisa menjadi orang yang mewujudkan harapan itu dengan berkorban untuk mereka. Kemudian saya juga harus belajar banyak lai tentang mengelola cinta. Sebagai lelaki normal saya juga merasakan cinta. Tetapi kadang yang tersulit adalah mengelolanya. Cinta seharusnya bukan membawa kehinaan melainkan kemuliaan. Kemuliaan menuju keridhoan Allah. Novel ini memberikan pencerahan kepada saya untuk mengelola cinta dan hati agar lebih baik lagi.
Jadi, baca novel ini!. Karena cinta di dalamnya tidak akan membuat kita cengeng atau menangis sedíh. Melainkan akan membawa kemuliaan dan kekuatan untuk senantiasa menjaga keikhlasan kita dalam berjuang dan berkorban. Wallahu a’lam.
Cijawa, 26 Februari 2007

Sunday, February 25, 2007

Malaikat & Iblis


Pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan sepertinya belum akan berakhir. Para Ilmuwan masih menyimpan dendam yang tidak berkesudahan. Para agamawan masih menyimpan kebencian terhadap dosa yang tidak akan terampuni. Dan Brown melukiskan pertentangan abadi tersebut dalam novel Malaikat & Iblis.
Novel ini mengambil setting keindahan Roma dan Vatikan city yang dipenuhi dengan peninggalan-peninggalan sejarah kuno. Setiap peristiwa digambarkan dengan detail, meloncat-loncat dari satu alur ke alur yang lain. Akan terasa sayang jika melewatkan setiap kata yang tertulis disetiap detailnya. Membaca Novel ini kita akan diajak menjelajah ke dunia mistis dan eksotis gereja-gereja kuno, sambil menerjemahkan simbol-simbol yang terukir dihampir setiap sisinya.
Karya-karya tak ternilai peninggalan para Maestro abad ke-16 seperti Raphael, Galileo, Michaelangelo, Da Vinci dan Benini menjadi dasar cerita novel ini. Simbol-simbol yang mereka ciptakan seakan menyimpan misteri yang menarik untuk diungkap.
Bayangan keindahan peninggalan masa lalu berpadu dengan kengerian dan kesadisan pembunuhan para kardinal. Kecerdasan mengatur strategi pembunuhan untuk kemudian cuci tangan dan seolah-olah menjadi malaikat penyelamat. Para pembaca seakan dibiarkan memilih sendiri tokoh baik dan tokoh jahatnya. Kemudian Dan Brown menulis endingnya dengan tidak terduga. Sehingga pembaca dibuat tidak percaya terhadap penyelesaian yang diluar perkiraan.
Ada beberapa catatan yang ingin aku berikan untuk buku ini. Sosok pembunuh yang diceritakan sebagai orang Arab, digambarkan sebagai orang yang haus darah dan seks. Diskriminasi terhadap pemeluk agama terlihat disini. Orang Islam digambarkan sangat buruk. Sehingga menggambarkan gereja adalah penyelamat dunia. Tentunya hal ini tidak terlepas dari penulisnya sendiri sebagai pemeluk Katholik. Jadi sesuatu yang wajar jika buku ini mengagungkan Katholik sebagai yang terbaik.
Jujur saja, sebagai orang yang suka dengan buku-buku thriller, karya-karya Dan Brown memiliki tempat tersendiri bagiku. Selain tebal, 3 dari 4 buku yang sudah diterbitkannya sudah aku miliki. Tinggal 1 buku lagi, yang berjudul Deception Point yang belum aku punya dan belum aku baca. Buku Malaikat dan Iblis sendiri sebenarnya aku beli bulan Oktober 2006 lalu, tetapi entah mengapa aku tidak langsung membacanya. Baru sekitar lima hari yang lalu aku mulai membacanya dan ternyata aku tak rugi. Petualangannya membangkitkan impian-impian penjelajahan yang ingin selalu kulakukan. Bertualang menjelajah Sumatera dan Jawa. Entah kapan aku bisa menggapai mimpi ini. Semoga tidak lama lagi.
Serang, 25 Februari 2007