Mencari Pahlawan Indonesia. Buku lawas yang baru sekarang tamat kubaca. Entah mengapa dulu aku enggan untuk membaca buku ini. Padahal saat itu aku masih berstatus mahasiswa dan sedang diberikan amanah di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kampusku. Disaat teman-temanku mengatakan bahwa buku ini bagus, aku tetap saja tidak tertarik. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Kerinduan akan datangnya sosok penyelamat senantiasa ada dalam hati-hati setiap kaum yang merasakan kedzaliman. Sosok yang akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik. Sungguh, bukan sesuatu yang buruk memimpikan hal tersebut. Karena sesungguhnya itulah tabiat orang yang terdzalimi, selalu menunggu datangnya penyelamatan.
Penyelamat yang akan dipanggil sebagai pahlawan. Pahlawan yang akan merubah nasib mereka, dari ketertindasan menuju pembebasan. Dari keterkungkungan menuju kemerdekaan. Dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Dan dari kedzaliman menuju keadilan. Adakah yang akan merubah mimpi-mimpi tersebut?.
Ah, sepertinya saya tak pantas berbicara tentang kepahlawanan. Biarkan saja Ust. Anis Matta yang berbicara lewat bukunya tersebut. Dan bagi teman-teman yang ingin mempelajari teori dan praktek kepahlawanan, silahkan baca buku tersebut. Insya Allah tidak akan rugi. Biarkan saya hanya bercerita tentang pendapat pribadi saja.
Teringat tulisan Ust. Anis Matta, Pahlawan tidak pernah muncul dengan sendirinya. Dia selalu dimunculkan oleh keadaan yang mendukungnya menjadi pahlawan. Baik secara internal maupun eksternal. Tidak salah satunya, melainkan kedua-duanya. Hari ini kita masih biasa berkumpul dalam pertemuan pekanan. Pertemuan yang mengumpulkan dengan saudara seiman kita. Pertemuan yang diibaratkan timbangan ia adalah poros tengahnya, yang akan menjadi penyeimbang dua sisinya. Apa yang kita rasakan ketika kita sedang dan setelah mengikutinya? Adakah sesuatu yang meledak-ledak dalam jiwa ataukah tak ada efek apapun?.
Sesungguhnya, pembinaan dalam pertemuan pekanan adalah sebuah rekayasa internal kepahlawanan. Rekayasa yang bertujuan melahirkan pahlawan-pahlawan pengibar panji kebenaran. Rekayasa yang akan membangunkan sebuah kekuatan besar yang masih tertidur dalam jiwa-jiwa kita. Ingatlah pahlawan-pahlawan yang dilahirkan generasi Islam pertama. Pahlawan yang mengguncangkan dunia dengan keistimewaan yang mereka miliki. Bukankah mereka adalah binaan-binaan Rasulullah, yang lahir dari rahim tarbiyah yang kuat. Dan tentu kita juga ingat bahwa sebelum mereka mengukir kepahlawanannya, mereka bukan siapa-siapa.
Kemudian apa perbedaannya dengan kita?. Bukankah kita juga mengikuti tarbiyah seperti yang dulu dicontohkan Rasulullah?. Menurut saya perbedaaannya adalah, tarbiyah Rasulullah mempunyai visi mencetak para pahlawan dan pemimpin yang akan memimpin dunia dengan panji Islam. Sementara jika hari ini kita belum merasakan sesuatu dari sentuhan tarbiyah kita, maka bisa ada dua alasan. Belum tersampaikannya visi tarbiyah oleh murabbi kita atau kita sendiri yang tidak bisa mencerna dan memahami visi tarbiyah. Wallahu a’lam.
Saat ini, kita juga bukan dan belum menjadi siapa-siapa. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk kita diam disini tanpa meghasilkan apapun dan kemudian menjadi manusia biasa. Karena manusia biasa akan hilang tergerus oleh jaman. Tetapi godaan menjadi manusia biasa sangatlah kuat. Mungkin ada sebagian dari kita yang tetap bertahan tetapi ada juga yang tidak tahan kemudian kembali manusia biasa. Padahal jalan menuju sejarah kepahlawanan hanya tinggal menghitung hari.
Pahlawan sama dengan manusia yang lain. Hanya diberikan keistimewaan tersendiri oleh Allah. Keistimewaan internal yang bertemu dengan kondisi eksternal yang mendukungnya lahir menjadi seorang pahlawan. Bukan pahlawan untuk dirinya sendiri, tetapi pahlawan untuk ummat ini. Pahlawan yang mampu membebaskan umat dari ketersesatan. Membawa umat pada kehidupan yang berkeadilan dan berkesejahteraan.
Kepahlawanan bukan menunggu tetapi menjemput. Kepahlawanan bukan meminta tetapi merebut. Kepahlawanan bukan diberi tetapi diusahakan. Tidak ada seseorang pun yang menjadi pahlawan dengan sendirinya, tanpa melewati sebuah masa inkubasi yang membuatnya sadar akan potensi pribadi dan memahami realitas disekitarnya. Kemudian dengan dua modal tersebut seseorang mengambil perannya dalam sebuah sejarah dan kemudian menjadi pahlawan.
Menjadi pahlawan memang tidak sama dengan menjadi orang yang sempurna. Tetapi menjadi pahlawan adalah proses menuju kesempurnaan. Jika hari ini kita menemukan kapasitas diri dan realitas lingkungan kita menunjang untuk menentukan sejarah hidup, maka jemput dan ambillah peran sejarah tersebut. Tidak ada lagi waktu untuk berdiam diri, karena masa ini adalah masa pembuktian untuk kita. Pembuktian bahwa kita mampu mempunyai sejarah sendiri. Sejarah yang akan mengukir nama kita dengan tinta emas kepahlawanan. Jangan sampai kita tidak menjadi apa-apa karena kita tergoda dalam kemapanan dan akhirnya kita terdiam untuk kemudian mati dalam kesendirian. Wallahu a'lam.
”Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna namun tidak mau menjadi sempurna” (Abu Tammam).
Kerinduan akan datangnya sosok penyelamat senantiasa ada dalam hati-hati setiap kaum yang merasakan kedzaliman. Sosok yang akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik. Sungguh, bukan sesuatu yang buruk memimpikan hal tersebut. Karena sesungguhnya itulah tabiat orang yang terdzalimi, selalu menunggu datangnya penyelamatan.
Penyelamat yang akan dipanggil sebagai pahlawan. Pahlawan yang akan merubah nasib mereka, dari ketertindasan menuju pembebasan. Dari keterkungkungan menuju kemerdekaan. Dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Dan dari kedzaliman menuju keadilan. Adakah yang akan merubah mimpi-mimpi tersebut?.
Ah, sepertinya saya tak pantas berbicara tentang kepahlawanan. Biarkan saja Ust. Anis Matta yang berbicara lewat bukunya tersebut. Dan bagi teman-teman yang ingin mempelajari teori dan praktek kepahlawanan, silahkan baca buku tersebut. Insya Allah tidak akan rugi. Biarkan saya hanya bercerita tentang pendapat pribadi saja.
Teringat tulisan Ust. Anis Matta, Pahlawan tidak pernah muncul dengan sendirinya. Dia selalu dimunculkan oleh keadaan yang mendukungnya menjadi pahlawan. Baik secara internal maupun eksternal. Tidak salah satunya, melainkan kedua-duanya. Hari ini kita masih biasa berkumpul dalam pertemuan pekanan. Pertemuan yang mengumpulkan dengan saudara seiman kita. Pertemuan yang diibaratkan timbangan ia adalah poros tengahnya, yang akan menjadi penyeimbang dua sisinya. Apa yang kita rasakan ketika kita sedang dan setelah mengikutinya? Adakah sesuatu yang meledak-ledak dalam jiwa ataukah tak ada efek apapun?.
Sesungguhnya, pembinaan dalam pertemuan pekanan adalah sebuah rekayasa internal kepahlawanan. Rekayasa yang bertujuan melahirkan pahlawan-pahlawan pengibar panji kebenaran. Rekayasa yang akan membangunkan sebuah kekuatan besar yang masih tertidur dalam jiwa-jiwa kita. Ingatlah pahlawan-pahlawan yang dilahirkan generasi Islam pertama. Pahlawan yang mengguncangkan dunia dengan keistimewaan yang mereka miliki. Bukankah mereka adalah binaan-binaan Rasulullah, yang lahir dari rahim tarbiyah yang kuat. Dan tentu kita juga ingat bahwa sebelum mereka mengukir kepahlawanannya, mereka bukan siapa-siapa.
Kemudian apa perbedaannya dengan kita?. Bukankah kita juga mengikuti tarbiyah seperti yang dulu dicontohkan Rasulullah?. Menurut saya perbedaaannya adalah, tarbiyah Rasulullah mempunyai visi mencetak para pahlawan dan pemimpin yang akan memimpin dunia dengan panji Islam. Sementara jika hari ini kita belum merasakan sesuatu dari sentuhan tarbiyah kita, maka bisa ada dua alasan. Belum tersampaikannya visi tarbiyah oleh murabbi kita atau kita sendiri yang tidak bisa mencerna dan memahami visi tarbiyah. Wallahu a’lam.
Saat ini, kita juga bukan dan belum menjadi siapa-siapa. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk kita diam disini tanpa meghasilkan apapun dan kemudian menjadi manusia biasa. Karena manusia biasa akan hilang tergerus oleh jaman. Tetapi godaan menjadi manusia biasa sangatlah kuat. Mungkin ada sebagian dari kita yang tetap bertahan tetapi ada juga yang tidak tahan kemudian kembali manusia biasa. Padahal jalan menuju sejarah kepahlawanan hanya tinggal menghitung hari.
Pahlawan sama dengan manusia yang lain. Hanya diberikan keistimewaan tersendiri oleh Allah. Keistimewaan internal yang bertemu dengan kondisi eksternal yang mendukungnya lahir menjadi seorang pahlawan. Bukan pahlawan untuk dirinya sendiri, tetapi pahlawan untuk ummat ini. Pahlawan yang mampu membebaskan umat dari ketersesatan. Membawa umat pada kehidupan yang berkeadilan dan berkesejahteraan.
Kepahlawanan bukan menunggu tetapi menjemput. Kepahlawanan bukan meminta tetapi merebut. Kepahlawanan bukan diberi tetapi diusahakan. Tidak ada seseorang pun yang menjadi pahlawan dengan sendirinya, tanpa melewati sebuah masa inkubasi yang membuatnya sadar akan potensi pribadi dan memahami realitas disekitarnya. Kemudian dengan dua modal tersebut seseorang mengambil perannya dalam sebuah sejarah dan kemudian menjadi pahlawan.
Menjadi pahlawan memang tidak sama dengan menjadi orang yang sempurna. Tetapi menjadi pahlawan adalah proses menuju kesempurnaan. Jika hari ini kita menemukan kapasitas diri dan realitas lingkungan kita menunjang untuk menentukan sejarah hidup, maka jemput dan ambillah peran sejarah tersebut. Tidak ada lagi waktu untuk berdiam diri, karena masa ini adalah masa pembuktian untuk kita. Pembuktian bahwa kita mampu mempunyai sejarah sendiri. Sejarah yang akan mengukir nama kita dengan tinta emas kepahlawanan. Jangan sampai kita tidak menjadi apa-apa karena kita tergoda dalam kemapanan dan akhirnya kita terdiam untuk kemudian mati dalam kesendirian. Wallahu a'lam.
”Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna namun tidak mau menjadi sempurna” (Abu Tammam).
Serang, Dipenghujung malam, 02 Maret 2007