Saturday, March 17, 2007

Apakah Engkau Seorang Pejuang

Engkau ingin berjuang
Tapi tidak mampu menerima ujian
Engkau ingin berjuang
Tapi rusak oleh pujian
Engkau ingin berjuang
Tapi tidak sepenuh hati menerima pimpinan

Engkau ingin berjuang
Tapi tidak setia kawan
Engkau ingin berjuang
Tapi tidak sanggup berkorban
Engkau ingin berjuang
Tapi ingin jadi pemimpin
Engkau ingin berjuang
Menjadi pengikut agak segan

Engkau ingin berjuang
Pola asuh tidak engkau amalkan
Engkau ingin berjuang
Tapi tidak sanggup terima cercaan
Engkau ingin berjuang
Kesehatan dan kerehatan Tidak sanggup engkau korbankan

Engkau ingin berjuang
Waktu tidak sanggup engkau luangkan
Engkau ingin berjuang
Ke renah isteri tidak engkau tahan
Engkau ingin berjuang
Rumah tangga engkau tampukan

Engkau ingin berjuang
Disiplin diri engkau abaikan
Engkau ingin berjuang
Janji kurang engkau tunaikan
Engkau ingin berjuang
Kasih sayang engkau juaikan
Engkau ingin berjuang
Tamu engkau abaikan

Engkau ingin berjuang
keluarga engkau lupakan
Engkau ingin berjuang
Ilmu berjuang engkau tinggalkan
Engkau ingin berjuang
Kekasaran dan kekerasan engkau amalkan

Engkau ingin berjuang
Pandangan tidak diselaraskan
Engkau ingin berjuang
Ibadah engkau abaikan
Engkau ingin berjuang
Iman dan taqwa engkau lupakan


Untuk mereka yang tengah berjuang di medan dakwah.
..Berharaplah agar dakwah ini mendewasakan kita ya ikhwati..

Berhenti Sejenak

Oleh : Adih Amin, Lc.
Perjalanan hidup ini melelahkan, ya sangat melelahkan. Betapa tidak, di saat idealisme kita dihadapkan pada realita yang beraneka ragam corak dan warnanya, kita harus bertahan karena kita tidak ingin tujuan hidup ita yang jauh ternodai dengan kepentingan sesaat. Ini bukan soal halal atau haram terhadap dunia dengan segala keindahannya, tapi soal menyikapinya agar tidak tergiur dan terpedaya olehnya.
Gambaran ini dapat kita rasakan di saat harus mengatakan "tidak" di hadapan mereka semua yang berkata "iya". Ketika ramai-ramai orang bicara ini dan itu dengan segala argumentasinya, tuntutan idealisme kita membisikkan kita untuk "diam", tatkala orang lain menilai bahkan mengecam kita dengan tuduhan ini dan itu, idealisme kitapun hanya mengisyaratkan kita untuk sekedar senyum tanpa kata-kata. Di saat orang beretorika dengan segala keahlian bahasanya, idealisme kitapun hanya meminta kita untuk membaca pikiran di balik pikiran. Dan ketika orang ramai-ramai memperbincangkan dunia dengan segala kenikmatannya, idealisme kitapun hanya mengalunkan satu kata, "qonaah". Itulah idealisme kita di hadapan mereka.
Terkadang tanpa terasa idealisme kita tergeser lantaran pikiran kita terbawa arus yang kita tidak menyadarinya. Belum lagi kondisi jiwa kita yang terus bergejolak mempengaruhi pikiran kita. Pikiran-pikiran itu selalu datang silih berganti tanpa kenal henti seiring dengan perjalanan hidup ini.
Memang, ini semua kita pahami sebagai sunnah kehidupan. Gelombang dan badai harus dipahami sebagai ladang ujian, problematika hidup merupakan hal tidak bisa dipisahkan dari hidup, pahit getir menjadi bumbu yang harus dirasakan oleh setiap kita, jatuh bangun adalah tangga yang harus dilalui dalam menggapai sebuah cita-cita.
Letih, lelah itulah yang sering kita rasakan, kita sering merasakan kejenuhan, bosan bahkan tidak peduli dengan kondisi. Namun jangan pernah ada perasaan pesimis apalagi putus asa karena di balik semua itu pasti ada sesuatu yang dapat kita jadikan pengalaman yang berarti. Dan yang kita perlukan adalah berhenti sesaat. Berhenti bukan berarti selesai atau sampai di sini. Berhenti untuk merenungi kembali perjalanan yang telah kita lalui, berhenti untuk memompa kembali semangat beramal, berhenti untuk mencas batrei keimanan kita agar tidak redup.
Kita butuh waktu untuk melihat kondisi jiwa kita agar tetap stabil dan tahan dalam menghadapi segalanya. Kita terkadang lupa bahwa ada yang harus kita tengok dalam diri kita, "ruhiyah" kita. Kondisi ruhiyah kita yang selalu membutuhkan suasana yang teduh, tenang sehingga ia menjadi kekuatan yang akan melindungi jiwa kita dari berbagai rintangan yang akan menghalangi kita. Kita memerlukan nuansa ruhiyah yang nyaman agar dapat berpikir jernih dan tetap semangat menjalani hidup ini. Kita butuh ketegaran jiwa dalam menghadapi hiruk pikuk hidup.
Inilah yang senantiasa diajarkan oleh Muadz bin Jabal RA kepada sahabatnya dengan ungkapannya yang menyejukkan hati "mari duduk sesaat untuk beriman". Berhenti sejenak untuk menengok kembali kondisi keimanan agar tetap terjaga. Karena segala yang kita alami dalam hidup harus dihadapi dan bukan lari darinya, ingatlah bahwa lari dari masalah tidak akan menyelesaikan masalah itu, bisa jadi justru akan menambah masalah baru. Memperbaharui keimanan akan membawa kita untuk memahami hakekat hidup ini dengan segala problematikanya. Mari kita sempatkan untuk selalu memperbaharui keimanan kita ditengah kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan.

Tafsir Al-Qur'an

Entah kenapa, beberapa hari ini aku lebih memilih membaca buku tafsir daripada buku yang lain. Padahal sebelum-sebelumnya buku tafsir al-Qur’an belum menjadi prioritasku. Dalam bayanganku, buku tafsir akan sangat membosankan dan membuatku lebih cepat mengantuk saat membacanya.
Buku-buku sastra yang sedari bulan lalu mulai aku baca, sedikit aku tinggalkan. Memang tidak semua, karena saat aku mulai membaca buku tafsir sebenarnya aku sedang membaca dua buah buku sastra yang berjudul Radio Negeri Biru dan Prajurit-prajurit Salamina. Buku Radio Negeri Biru baru selesai aku baca semalam, sedangkan Prajurit-prajurit Salamina tidak terlalu menarik perhatianku. Buku tersebut masih tergeletak saja disamping meja kerjaku. Setiap jam bahkan setiap detik buku tersebut selalu terlihat, tetapi hati ini masih enggan untuk melanjutkan membacanya.
Tafsir fi Dzilal Al-Qur’an menjadi pilihan pertamaku. Tidak dari juz yang pertama, aku memilih salah satu surat pada juz ke-18. Tiba-tiba saja keinginan itu datang dan seakan berubah menjadi azzam yang menghujam. Sepulang shalat Maghrib beberapa hari yang lalu semua itu bermula. Seperti biasa setelah shalat Maghrib aku tilawah al-Qur’an. Tetapi entah mengapa malam itu aku hanya membuka al-Quran saja dan tertarik untuk membaca terjemahnya. Sesuatu yang selama ini jarang aku lakukan. Keinginan itu pun datang, bayangan buku-buku tafsir seakan beterbangan di depan mata dan membuatku ingin segera membacanya. Yang terbayang setelahnya adalah wajah salah seorang temanku yang mempunyai buku-buku tafsir.
Aku yang selama ini lemah dalam hafalan dan tadabbur al-Qur’an, merasa harus belajar kembali tentang Al-Qur’an. Meski hampir setiap hari al-Qur’an kubaca, tetapi entah mengapa ada resah yang selalu terasa setelahnya. Kadang kegersangan hati tetap melanda, aku merasa hati ini tetap keras dan sulit meresapi makna-makna al-Qur’an. Entah apa yang terjadi denganku. Atau mungkin terlalu banyak kemaksiyatan yang kulakukan, hingga hati ini pun berkerak karenanya.
Allah, betapa hina diri ini. Betapa aku tidak punya kuasa apapun di hadapan-Mu. Sering hati ini tidak mampu menangis mendengarkan asma-Mu, bahkan saat mulut ini yang melantunkannya. Allah, mohon ampunan-Mu ya Allah.

Cijawa, 17 Maret 2007
Menjelang siang

Monday, March 12, 2007

Menikah


Judul Buku : Kawinlah Selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri
Judul Asli : Al-Zawal al-Islami a-Mubakkir: Sa’adah wa Hasanah
Penulis : Muhammad ‘Ali al-Shabuni
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Ke-IV, Oktober 2005
ISBN : 979-16-0087-2

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum : 21)

Aku dimabuk kepayang
Oleh perasaan cinta
kepada perempuan cantik
Yang bulan purnama pun malu kepadanya
Kalau aku tidak melihatnya
Air mata pun akan jatuh menetes
(Syair)


Ketenangan atau sakinah adalah janji Allah bagi makhluk-Nya yang melakukan pernikahan. Ketenangan yang selalu bersaudara dengan kesenangan, ketenteraman dan keceriaan. Ketika rasa ini berpadu dengan jiwa yang didapat adalah sebuah kebahagiaan, kegembiraan serta suka cita, yang dengannya hidup terasa indah.
Teringat diskusi pekan yang lalu, saat itu salah seorang dari kami yang ditunjuk sebagai pengantar materi diskusi menyampaikan makna ketenangan. Seru juga diskusinya, karena kebetulan si penyampai materi insya Allah akan segera menggenapkan setengah diennya bulan depan. Ketenangan adalah zauq atau rasa. Rasa yang sulit dilihat oleh mata, karena ia berada di dalam jiwa. Rasa tenang didapat karena kedekatan dengan Allah. Kedekatan yang didapatkan melalui tadribat atau latihan yang kontinu dan berkesinambungan. Tetapi bagaimana dengan ketenangan yang ada dalam pernikahan. Apakah ia juga didapatkan melalui latihan. Tentu tidak, karena pernikahan bukanlah latihan melainkan sebuah perjalanan takdir hidup yang setiap manusia normal pasti melaluinya.
Kata temanku yang hendak menikah, sebagai manusia, kita pasti sering merasakan kegelisahan yang sangat apalagi ketika usia sudah mencapai 22 tahun lebih. Ketika masalah bertubi-tubi mendera dan semakin bertumpuk. Secara fitrah, manusia membutuhkan teman untuk berbagi. Ketika mata hampir setiap hari melihat hal-hal yang bisa menjerumuskan kepada maksiat serta ada perasaan resah yang membuncah di dada saat mata menatap makhluk berbeda jenis. Manusia butuh gerakan penyelamatan terhadap fitrah dan kesucian dirinya. Dan hal tersebut didapatkannya melalui pernikahan. Ketika pernikahan telah dilaksanakan, semua perasaan resah dan gelisah yang mendera berganti dengan suka cita. Disampingnya sudah ada teman berbagi dan teman segala-galanya.
Pernikahan merupakan sebuah lembaga untuk membina sebuah keluarga muslim ideal dan memakmurkan dunia dengan anak cucu yang saleh yang bisa menjamin kelangsungan hidup di muka bumi. Pernikahan bukanlah penjara yang akan membelenggu kebebasan, aktivitas serta kehidupan. Untuk menuju ketenangan yang digambarkan oleh Al-Qur’an, Islam sudah mengatur segala hal tentang pernikahan bahkan hal-hal yang terkait dengan pra nikah.
Di dalam Islam, menikah mempunyai nilai ibadah. Seorang mukmin akan mendapatkan pahala ketika ia mempunyai niat baik dan ikhlas ketika ingin menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan fitnah dengan menikah. Rasulullah pernah bersabda : ”Menikah adalah sunahku, barangsiapa tidak menyukai sunahku maka ia bukan termasuk golonganku”. Gawatkan, jika hanya gara-gara kita tidak menyukai salah satu sunah rasulullah, kita bisa tidak dianggap sebagai umatnya.
Berdasarkan Surat Ar-Ruum ayat 30 di atas, ada 3 karunia yang Allah sampaikan melalui pernikahan : Pertama, Istri adalah manusia yang sempurna. Allah telah menciptakan wanita dari tanah yang sma dengan pria. jadi, wanita adalah bagian dari pria dan keduanya sejajarar dalam tingkat kehormatan dan harkat kemanusiaan. Kedua, Pernikahan akan menimbulkan ketenangan dan ketenteraman. Ketiga, Pernikahan akan terjalin ikatan rasa cinta dan kasih sayang antara suami isteri.
Pernikahan adalah perjalanan takdir yang penuh dengan lika-liku, kehidupannya penuh warna dan rasa. Adakalanya manis, pahit, asem, asin bahkan kadang-kadang tanpa rasa. Tetapi, Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Melalui Rasulullah, Allah mengajarkan kepada seluruh hamba-Nya tentang pernak-pernik pernikahan. Mulai dari pra nikah, saat pernikahan dan pasca pernikahan. Rasulullah mengajarkan tentang cara memilih pasangan, adab meminang, ta’aruf, penentuan mahar, pesta pernikahan, publikasi pernikahan bahkan sampai tata cara melewati malam pertama.
Jadi teringat kembali tentang proses pernikahan temanku yang bulan depan insya Allah menggenapkan setengah diennya. Lama sudah dia menahan hasratnya untuk menikah. Aku masih ingat dia pernah berkata bahwa target menikahnya adalah akhir tahun 2005. Ketika belum kesampaian, diundur lagi sampai akhir tahun 2006. Ternyata baru kesampaian awal tahun 2007. Itu pun dilaluinya dengan perjuangan. Betapa susahnya proses yang dilaluinya. Mulai dari menentukan calon isteri, karena saat itu dia hanya punya niatan untuk menikah tetapi tidak mempunyai calon satupun. Dan setelah mendapatkan calon, kembali dia menunggu untuk melaksanakan hari pernikahan. karena keluarga menyepakati bulan depan sedangkan dia menginginkan secepatnya. Belum lagi jarak rumah calon mertuanya yang jauh. Sampai-sampai dalam pertemuan pekanan kami selalu digoda dengan kata-kata: ”Hujan dan badai kan kuterjang, yang penting nyampe kerumah calon mertua”. Karena saat dia silaturahim, di daerah tersebut memang sedang hujan dan banjir.
Ah, berbicara pernikahan memang pembicaraan yang tidak akan pernah puas. Sampai-sampai dipertemuan pekanan, jika membicarakan pernikahan pasti sampai lewat tengah malam, kadang malah nambah lagi setelah selesai acara. Jadi teringat juga bukunya Mas Udik Abdullah yang berjudul ”Bila Hati Rindu Menikah”. Menikah memang kerinduan setiap hati. Kerinduan akan bersandingnya teman yang akan menemani kehidupan di dunia. Kerinduan datangnya teman sejati yang dengan cintanya akan membawa dan menemani kita ke surga. Jadi jika merasa sudah siap menikah, azzamkan niat yang ikhlas, persiapkan keluarga kemudian ajukan biodata ke murabbi/murabbiyah. Jangan menunda lebih lama, ingatlah umur semakin merangkak senja. Kesiapan menikah bukan ditentukan oleh usia. Tetapi oleh ketulusan hati untuk menghindari fitnah dan juga menjaga kesucian jiwa. Walllahu a’lam.

Bertahan aku dengan ingatan
Tentang sedih yang melahirkan kerinduan
Hingga engkau, datang kepadaku
Betapa lama, aku menunggu
(Syair; dengan sedikit perubahan)

Cijawa, 12 Maret 2007
Saat malaikat sore hendak datang ke dunia