Entah kenapa, beberapa hari ini aku lebih memilih membaca buku tafsir daripada buku yang lain. Padahal sebelum-sebelumnya buku tafsir al-Qur’an belum menjadi prioritasku. Dalam bayanganku, buku tafsir akan sangat membosankan dan membuatku lebih cepat mengantuk saat membacanya.
Buku-buku sastra yang sedari bulan lalu mulai aku baca, sedikit aku tinggalkan. Memang tidak semua, karena saat aku mulai membaca buku tafsir sebenarnya aku sedang membaca dua buah buku sastra yang berjudul Radio Negeri Biru dan Prajurit-prajurit Salamina. Buku Radio Negeri Biru baru selesai aku baca semalam, sedangkan Prajurit-prajurit Salamina tidak terlalu menarik perhatianku. Buku tersebut masih tergeletak saja disamping meja kerjaku. Setiap jam bahkan setiap detik buku tersebut selalu terlihat, tetapi hati ini masih enggan untuk melanjutkan membacanya.
Tafsir fi Dzilal Al-Qur’an menjadi pilihan pertamaku. Tidak dari juz yang pertama, aku memilih salah satu surat pada juz ke-18. Tiba-tiba saja keinginan itu datang dan seakan berubah menjadi azzam yang menghujam. Sepulang shalat Maghrib beberapa hari yang lalu semua itu bermula. Seperti biasa setelah shalat Maghrib aku tilawah al-Qur’an. Tetapi entah mengapa malam itu aku hanya membuka al-Quran saja dan tertarik untuk membaca terjemahnya. Sesuatu yang selama ini jarang aku lakukan. Keinginan itu pun datang, bayangan buku-buku tafsir seakan beterbangan di depan mata dan membuatku ingin segera membacanya. Yang terbayang setelahnya adalah wajah salah seorang temanku yang mempunyai buku-buku tafsir.
Aku yang selama ini lemah dalam hafalan dan tadabbur al-Qur’an, merasa harus belajar kembali tentang Al-Qur’an. Meski hampir setiap hari al-Qur’an kubaca, tetapi entah mengapa ada resah yang selalu terasa setelahnya. Kadang kegersangan hati tetap melanda, aku merasa hati ini tetap keras dan sulit meresapi makna-makna al-Qur’an. Entah apa yang terjadi denganku. Atau mungkin terlalu banyak kemaksiyatan yang kulakukan, hingga hati ini pun berkerak karenanya.
Allah, betapa hina diri ini. Betapa aku tidak punya kuasa apapun di hadapan-Mu. Sering hati ini tidak mampu menangis mendengarkan asma-Mu, bahkan saat mulut ini yang melantunkannya. Allah, mohon ampunan-Mu ya Allah.
Cijawa, 17 Maret 2007
Menjelang siang
Buku-buku sastra yang sedari bulan lalu mulai aku baca, sedikit aku tinggalkan. Memang tidak semua, karena saat aku mulai membaca buku tafsir sebenarnya aku sedang membaca dua buah buku sastra yang berjudul Radio Negeri Biru dan Prajurit-prajurit Salamina. Buku Radio Negeri Biru baru selesai aku baca semalam, sedangkan Prajurit-prajurit Salamina tidak terlalu menarik perhatianku. Buku tersebut masih tergeletak saja disamping meja kerjaku. Setiap jam bahkan setiap detik buku tersebut selalu terlihat, tetapi hati ini masih enggan untuk melanjutkan membacanya.
Tafsir fi Dzilal Al-Qur’an menjadi pilihan pertamaku. Tidak dari juz yang pertama, aku memilih salah satu surat pada juz ke-18. Tiba-tiba saja keinginan itu datang dan seakan berubah menjadi azzam yang menghujam. Sepulang shalat Maghrib beberapa hari yang lalu semua itu bermula. Seperti biasa setelah shalat Maghrib aku tilawah al-Qur’an. Tetapi entah mengapa malam itu aku hanya membuka al-Quran saja dan tertarik untuk membaca terjemahnya. Sesuatu yang selama ini jarang aku lakukan. Keinginan itu pun datang, bayangan buku-buku tafsir seakan beterbangan di depan mata dan membuatku ingin segera membacanya. Yang terbayang setelahnya adalah wajah salah seorang temanku yang mempunyai buku-buku tafsir.
Aku yang selama ini lemah dalam hafalan dan tadabbur al-Qur’an, merasa harus belajar kembali tentang Al-Qur’an. Meski hampir setiap hari al-Qur’an kubaca, tetapi entah mengapa ada resah yang selalu terasa setelahnya. Kadang kegersangan hati tetap melanda, aku merasa hati ini tetap keras dan sulit meresapi makna-makna al-Qur’an. Entah apa yang terjadi denganku. Atau mungkin terlalu banyak kemaksiyatan yang kulakukan, hingga hati ini pun berkerak karenanya.
Allah, betapa hina diri ini. Betapa aku tidak punya kuasa apapun di hadapan-Mu. Sering hati ini tidak mampu menangis mendengarkan asma-Mu, bahkan saat mulut ini yang melantunkannya. Allah, mohon ampunan-Mu ya Allah.
Cijawa, 17 Maret 2007
Menjelang siang
No comments:
Post a Comment