Sunday, January 28, 2007

Saat Diri Kian Rapuh

Jalanan kembali lengang, meski sesekali terdengar suara kendaraan menderu menyeruak tabir kegelapan. Sajadah merah tak lagi menangis, sang tuan tak lagi mengaliri dengan air matanya yang kini serasa telah kering.
Perjalanan dakwah ini telah jauh meninggalkan terminalnya, sedang tujuan belum lagi kelihatan. Sementara jalanan tidak lagi menunjukkan keramahannya. Onak dan duri silih berganti memecahkan roda-roda perjalanan. Sementara tubuh tak lagi kuasa menahan kelelahan.
Kejenuhan kembali menghinggapi jiwa, menghancurkan hamasah yang dulu membaja. Amanah-amanah dakwah mulai terlalaikan karena kemapanan. Pertemuan pekanan seakan menjadi rutinitas yang cenderung membosankan. Rapat-rapat dakwah menjadi perjumpaan hambar tanpa keputusan.
Allah .. hati ini telah membatu, mata ini tak lagi dapat menangis mendengar lantunan asma-Mu. Lidah pun terasa kelu tuk mengucap kalam-Mu. Sementara tangan ini semakin enggan mengajarkan kebaikan, dan kaki ini kian berat untuk kulangkahkan. Amalan pun semakin lama semakin terasa semu ..
Allah .. badai ini kian ganas mengamuk, menyesatkan hati di gurun pasir. Sendiri dan terasing, menapak padang gersang. Oase belum lagi terlihat, hembusannya pun belum lagi mendekat. Sementara hati kian haus akan tetesan cahaya-Mu.
Allah .. hamasah yang dulu mendidih, menderu nyaring laksana ombak dilautan, melompat dan melesat di ketinggian, seakan tinggal kenangan. Tiada lagi gairah dan rindu yang membumbung tinggi. Perjalanan terasa semakin lambat, kalah oleh seekor kura-kura yang sedang mengejar kelinci. Sementara sang serigala semakin leluasa memakan mangsa dan berlari.
Namun diri ini semakin enggan untuk bangkit, bersegera maju ke atas gelanggang, menyingkirkan waktu luang, mendahului roda zaman, bergabung bersama kafilah-kafilah perjuangan. Cercaan demi cercaan kian nyaring terdengar, mengaum dari dekat dan kejauhan. Tetapi diri ini masih tetap terbuai, bergelimang dengan nafsu dan godaan.
Akankah diri ini seperti Abu Bakar yang diakhirat kelak dipanggil oleh kedelapan pintu surga, karena semangatnya yang membara untuk senantiasa beribadah. Atau laksana Utsman yang berkali-kali membeli jiwanya dari Allah SWT. Atau seperti Ali yang merasa cukup dengan memakan roti kasar dan baju sederhana. Ataukah laksana Umar yang rela membuka mata siang bahkan malam hanya untuk dapat merasakan kemesraan dengan sang Rabb Maha Pencipta.
Jika hari ini fajar kembali merekah, keuntungan atau kerugiankah yang kulihat. Malam-malam kulalui hanya berteman bantal yang melenakan, hari-hari pun bersahabat dengan kecemasan dan kesia-siaan. Akankah bahagia datang dihati dan jiwa, saat ia sedang merana. Mungkinkah kegembiraan datang menghampiri, saat resah, putus asa, tiada terperi.
Allah, akankah diri ini Engkau maafkan, saat ketaatan tiada lagi kurasakan, saat ketundukan tiada lagi kuwujudkan. Allah, Engkau maha mengetahui sedalam apakah keimanan, dan Engkaulah jua pemberi ketenangan. Jadikanlah hati ini menara-menara tinggi yang menerima cahaya dari langit. Dan jangan Engkau jadikan diri ini tertinggal dikejauhan oleh para penyeru kebenaran.

Dikeheningan malam tafakur dikesyahduan
merindui janji-Mu Tuhan bantuan diperjuangan
Kuteteskan air mata taubat segala dosa
Moga terangkat penghijab kalbu antara Kau dan aku
Ya Allah, ya Tuhanku ku sujud pada kudrat-Mu
Ku serahkan jiwa ragaku pada takdir iradah-Mu
Pimpinlah daku dalam ridha-Mu Kasihi daku dalam Rahmat-Mu
Hanya Pada-Mu aku mengadu Ya Allah Ya Tuhanku

Allah .. kan kupilih jalan ini, jalan yang penuh onak dan duri, jalan yang telah dilalui oleh para Rasul dan Nabi. Jalan yang keindahannya melebihi untaian puisi, harumnya melebihi wangi kesturi. Jalan yang dilangit sana menunggu para bidadari suci, yang kan menyongsong dengan berlari-lari.

Lemahlah bagi yang ingin lemah,
mundurlah bagi yang tidak kuat bertahan,
seandainya semua sepakat untuk berhenti mengusung kemuliaan ini,
aku kan tetap disini bersama Rabbku,
sampai kemenangan menjadi nyata atau syahid muliakanku…!!!

Ruangan pun kembali senyap, sesenyap hati yang sedang rapuh.

Nb.
Teruntuk hati yang sedang rapuh dan mengalami jenuh dikafilah ini.Terima kasih untuk seorang kawan atas taushiahnya, baru ku mengerti apa arti taushiyah itu untukku.


M. Afzan
Serang, 14 Mei 2005

Inilah Jalanku

Katakanlah, "Inilah jalanku, aku mengajak kalian kepada Allah dengan bashiroh, aku dan pengikut-pengikutku - mahasuci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik" (Q.S. Yusuf:108).
Jalan dakwah panjang terbentang jauh ke depan Duri dan batu terjal selalu mengganjal, lurah dan bukit menghadang Ujungnya bukan di usia, bukan pula di dunia Tetapi Cahaya Maha Cahaya, Syurga dan Ridha Allah Cinta adalah sumbernya, hati dan jiwa adalah rumahnya Pergilah ke hati-hati manusia ajaklah ke jalan Rabbmu Nikmati perjalanannya, berdiskusilah dengan bahasa bijaksana Dan jika seseorang mendapat hidayah karenamu Itu lebih baik dari dunia dan segala isinya...

Pergilah ke hati-hati manusia ajaklah ke jalan Rabbmu
Jika engkau cinta maka dakwah adalah faham
Mengerti tentang Islam, Risalah Anbiya dan warisan ulama Hendaknya engkau fanatis dan bangga dengannya Seperti Mughirah bin Syu'bah di hadapan Rustum Panglima Kisra.

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ikhlas
Menghiasi hati, memotivasi jiwa untuk berkarya Seperti Kata Abul Anbiya, "Sesungguhnya sholatku ibadahku, hidupku clan matiku semata bagi Rabb semesta" Berikan hatimu untuk Dia, katakan "Allahu ghayatuna".

Jika engkau cinta maka dakwah adalah amal
Membangun kejayaan ummat kapan saja dimana saja berada yang bernilai adalah kerja bukan semata ilmu apalagi lamunan Sasarannya adalah perbaikan dan perubahan, al ishlah wa taghyir Dari diri pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara Bangun aktifitas secara tertib tuk mencapai kejayaan.

Jika engkau cinta maka dakwah adalah jihad
Sungguh-sungguh di medan perjuangan melawan kebatilan. Tinggikan kalimat Allah rendahkan ocehan syaitan durjana. Kerja keras tak kenal lelah adalah rumusnya, Tinggalkan kemalasan, lamban, dan berpangku tangan.

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ta'at
Kepada Allah dan Rasul, Alqur-an dan Sunnahnya serta orang-orang bertaqwa yang tertata Taat adalah wujud syukurmu kepada hidayah Allah karenanya nikmat akan bertambah melimpah penuh berkah.

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tadhhiyah (pengorbanan)
Bukti kesetiaan dan kesiapan memberi, pantang meminta Bersedialah banyak kehilangan dengan sedikit menerima Karena yang disisi Allah lebih mulia, sedang di sisimu fana belaka Sedangkan tiap tetes keringat berpahala lipat ganda

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tsabat (keteguhan)
Hati dan jiwa yang tegar walau banyak rintangan Buah dari sabar meniti jalan, teguh dalam barisan
Istiqomah dalam perjuangan dengan kaki tak tergoyahkan Berjalan lempang jauh dari penyimpangan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tajarrud (pembersihan diri)
Ikhlas di setiap langkah menggapai satu tujuan Padukan seluruh potensimu, libatkan dalam jalan ini Engkau da'i sebelum apapun adanya engkau Dakwah tugas utamamu sedang lainnya hanya selingan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tsiqoh (kepercayaan)
Kepercayaan yang dilandasi iman suci penuh keyakinan Kepada Allah, Rasul, Islam, Qiyadah (pimpinan) dan Junudnya (yang dipimpin) Hilangkan keraguan dan pastikan kejujurannya... Karena inilah kafilah kebenaran yang penuh berkah

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ukhuwwah (persaudaraan)
Lekatnya ikatan hati berjalin dalam nilai-nilai persaudaraan Bersaudaralah dengan muslimin sedunia, utamanya mukmin mujahidin Lapang dada merupakan syarat terendahnya, itsar bentuk tertingginya Dan Allah yang mengetahui menghimpun hati-hati para da'i dalam cinta-Nya berjumpa karena taat kepada-Nya Melebur satu dalam dakwah ke jalan Allah, saling berjanji untuk menolong syariat-Nya. BERDA'WAH DENGAN HATI, AKAL DAN JASAD

"Saya sudah tidak sanggup lagi. Mendingan saya mengundurkan diri..,"
Demikian bisikan seorang akhwat di tengah rapat yang berlangsung emosional. Suara ikhwan di balik hijab pun kian tinggi saja, bersahut-sahutan dengan sanggahan seorang akhwat senior di sisi lain. Menjelang hari-H, masih banyak pekerjaan panitia yang belum tuntas. Bagi segelintir panitia, P4L (pergi pagi, pulang pagi lagi)tampaknya menjadi suatu kemestian. Dan hari itu tibalah. Jumlah peserta melebihi target dan seluruh pendukung acara hadir. Alhamdulillah. Acara selesai dan dianggap lumayan sukses walau menyisakan hutang hingga bilangan jutaan. Ba'da itu, sebagaimana tiap usai kegiatan diadakanlah muhasabah. "Mari bersama-sama kita lapangkan dada serta membuang semua prasangka yang bisa merusak keikhlasan hati. Hendaknya selesai dari sini, kita semakin dikuatkan, semakin kokoh sebagai rijalud da'wah. Bukan sebaliknya...", demikian ikhwan yang bertindak sebagai Steering Committee (SC). Sore itu masing-masing panitia bersalaman, berpelukan, sebagian menangis tersedu-sedu. Esoknya, hanya selang sehari pasca kegiatan, gumam-gumam kesal antar panitia masih kerap terdengar. "Abis dia yang berjam-jam nelepon lewat HP, eh malah malah kita yang disuruh kerja keras nalangin pulsanya. Kok enak bangeet?...", demikian celoteh salah seorang panitia yang kebetulan diamanahkan di seksi usaha dana. Ataupun seorang ikhwan yang sampai bertekad "Ana lebih baik mundur, selama masih ada si X di kelembagaan ini!", Masya Allah, kemana menguapnya prinsip sabar, iapang dada, tsiqoh, saling bertausyiah..... semua prinsip yang indah-indah itu? Ini bukan penggalan fiksi dan sebenarnya kisah di atas masih panjang lagi. Kasus-kasus klasik tentang kerja yang terdistribusikan hanya pada sedikit orang, oknum panitia yang tidak amanah, gesekan-gesekan antar personal dan seterusnya tak lupa ikut menghiasi kinerja kepanitiaan itu. Singkatnya taujihat SC serta airmata yang mengalir ternyata masih menyisakan rasa gondok dan dongkal yang akibatnya fatal: ukhuwah yang cacat. Belum lagi bicara tentang "pendzoliman" terhadap keluarga, orang tua dan saudara-saudara di rumah yang juga harus sering menahan kedongkolan karena jomplangnya perhatian sang aktivis terhadap dakwah di luar rumah dengan perhatian terhadap keluarga. Belum lagi ancaman mengulang mata kuliah tertentu gara-gara sering ditingggal rapat manakala pada saat yang sama terngiang-ngiang jargon : "Aktivis ngga boleh punya IPK tipis!" Kalau sudah begini, alih-alih mensugesti diri dengan kalimah tauhid "innallaha ma'ashoobiriin" bisa-bisa yang terucap malah : Pusiiiiing!..."

AI-Insaan
Prinsip AI-Insaan yang kita pahami adalah bahwa setiap manusia punya tiga potensi : hati (ruh), otak (akal), dan jasad. Kelengkapan tiga potensi ini merupakan syarat mutlak bagi seseorang agar berdaya secara utuh. Walaupun konsep ini sudah jadi santapan sejak awal tarbiyah, namun realisasinya memang tak seindah dan semudah yang dibayangkan. Tuntutan untuk bisa menjadi da'I yang itqon (profesional) dan cerdas berbarengan dengan tuntutan untuk menjaga hubungan antarmanusia.

Pada saat seorang da'I terjun dalam aktivitas da'wah ammah, itqonul amal (profesionalisme) tampaknya memang menjadi keniscayaan. Berbekal hamasah (semangat) untuk meninggikan izzah diennya, profesionalisme menjadi kata yang ditulis besar-besar dalam buku agenda. Walau demikian, jangan lupa bahwa da'I yang notabene adalah manusia, bekerja dengan manusia pula. Dan tidak semua tipikal manusia bisa bekerja secara otomatis layaknya mesin. Ada manusia-manusia yang amat perasa dan ada juga yang sangat teoritis. Ada yang unggul dalam penguasaan fikroh, ada yang unggul dalam rutinitas ibadah mahdah. Begitu seterusnya. Begitu beragamnya manusia, hatta manusia yang sama-sama tertarbiyah. Anyway once again, basiccaly all human beings need to filled in those three potentions. Semuanya butuh asupan untuk memenuhi keseimbangan fungsi-fungsinya. Maka, manakala seorang da'I menjadi "mati rasa", menjadi sedemikian mekanis layaknya mesin, ia perlu ingat bahwa mesinpun butuh pelumas.

Kesuksesan sebuah amal dakwah, taruhlah sebagaimana kegiatan pada kisah di atas, tidak dapat diukur hanya dari variabel-variabel yang kasat mata. Membludaknya peserta atau peliputan berbagai media massa tidak cukup menjadi indikator sukses sebuah amal dakwah apabila menyisakan hubungan yang retak.

Ukhuwahlah yang seharusnya menjadi mesin itu. Dan ukhuwah, sangat terkait dengan ikatan hati (ta'liful quluub), terkait dengan kemampuan untuk berhubungan secara interpersonal. Sedangkan kekuatan hati itu tergantung pada quwwatus sillah billah (kekuatan hubungan hamba dengan Robnya).

Demikian pula, da'I tidak bisa berkutat pada hubungan hubungan interpersonal semata dengan mengabaikan kerja-kerja teknis yang dibutuhkan bagi sebuah seminar misalnya, atau pementasan, atau akal, atau apapun jua agar menjadi sebuah kegiatan yang layak. Kegiatan itu tah juga butuh pasukan yang jiddiyah (sungguh-sungguh) mencari dana, menyebarkan publikasi, menata setting acara, dan kerja-kerja operasional lainnya. Semestinya tidak ada potensi manusiawi yang terdzholimi demi memenuhi yang lain. Menzholimi hati bisa berakibat turut terzholiminya fikri dan jasmani. Berharap bisa profesional, namun mengesampingkan kedekatan hati, baik antar personal maupun dengan kholiknya, maka rasa-rasanya itupun termasuk kezholiman.

Ketawazunan Jama'I
Oleh karena itu dalam setiap aktivitas yang melibatkan insaan, sekompleks apapun kondisinya, seberagam apapun kasusnya, Insyaallah akan menjadi aktivitas yang sukses tidak saja secara lahiriah namun juga kesuksesan yang hakiki, asal masing-masing dari ketiga potensi itu dipenuhi kebutuhannya secara adil dan bukankah justru itu itqonul amal (profesionalisme) yang sesungguhnya. Dengan begitu, konsep ketawazunan dalam AI-Insaan hendaknya difahami sebagai konsep yang tidak berlaku fardhi atau bagi arang per orang saja, namun lebih kompleks lagi juga berlaku di dalam sebuah sistem amal jama'i.
Yakinlah bahwa teori yang indah di atas kertas itu juga bisa terwujud di lapangan bila bila setiap da'I tidak hanya ta'at mengikuti ta'limatnya, melainkan juga ta'at menjalankannya. Bila pendzholiman demi pendzholiman ini masih terjadi juga, maka mungkin di sela-sela kepenatan beraktivitas dakwah, kita perlu berkonsentrasi sejenak. Perlu membuka-buka lagi lembaran buku-buku kajian kita, dan tentunya juga membuka mata dan hati kita. Sebagaimana jingle Man sebuah kopi instant "buka mata, buka hati, buka pikiran...". "Sesungguhnya bersama kesulitan itu selalu ada kemudahan". Wallahu'alam bishshowaab. (Oleh : Agung Gurnita, Tarbawi Edisi 8 Th.l 30 April 2000M)

Karena Akhwat Ingin Dimengerti

Mohon maaf apabila judul di atas kurang berkenan. judul ini terinspirasi oleh salah satu lagu dari sebuah kelompok band yang saya lihat saat sedang live show disalah satu televisi swasta. Penonton acara tersebut didominasi oleh para wanita. Jumlahnya sekitar 90 % dan berbanding 10 % dengan penonton laki-laki. Membaca tema dan mendengarkan syair lagu tersebut, Saya teringat pengurus akhwat KAMMI Daerah Banten. Beberapa minggu ini mereka sering meminta bertemu dan berdiskusi dengan Badan Pengurus Harian (BPH) KAMMI Daerah Banten.
Beberapa bulan lalu, Akh Hamami datang dan menunjukkan sebuah nomor Hand Phone. Dia bertanya apakah Saya tahu siapa pemiliknya. Saya balik bertanya memangnya kenapa dengan nomor tersebut. Dia menjawab, si pemilik Hp ini mengirimkan pesan singkat yang isinya membuat dia bingung. Akh Hamami pun pulang tanpa hasil karena Saya memang tidak tahu siapa pemilik nomor tersebut. Tetapi, beberapa hari kemudian akh Hamami datang lagi dan cerita bahwa dia tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Dia adalah salah satu pengurus akhwat di KAMMI Banten yang merasa ada masalah yang harus diselesaikan di kepengurusan KAMMI Banten.
Permasalahan pun dianggap selesai setelah akh Hamami mengadakan pertemuan dengan si pengirim pesan dan menjelaskan kondisi yang ada. KAMMI Daerah Banten pun berjalan seperti biasa.

“Masalah apalagi sih?” komentarku saat akh Hamami datang lagi ketempatku beberapa minggu yang lalu. Kali ini ada sms baru yang meminta meng-clear-kan masalah yang terjadi dikepengurusan KAMMI Daerah Banten. “Ga tahu” jawaban akh Hamami saat itu. “Tapi sore ini mau ketemu dengan mereka untuk meng-clear-kan masalah-masalah ini”. Pertemuan dilaksanakan dan kemudian permasalahan dianggap beres.
“Dimohon kehadirannya jam 13.00 wib pertemuan antara BPH dengan akhwat.” Sms dari akh Hamami mampir ke Hp-ku satu hari. “Pertemuan apalagi, katanya permasalahan sudah selesai.”Kuhubungi akh Hamami untuk menanyakan pertemuan ini. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui agenda pertemuan karena pertemuan kali ini atas permintaan beberapa akhwat.
Pertemuan hari itu terlaksana, Badan Pengurus Harian (BPH) KAMMI Daerah Banten hadir lengkap dan dari pihak akhwat diwakili oleh beberapa orang perwakilan setiap Departemen KAMMI Daerah Banten ditambah beberapa akhwat undangan. Dialog-dialog seperti inipun berlanjut karena beberapa akhwat-akhwat meminta agar dialog dua arah ini dintens-kan.
Menurut perkataan orang-orang, kaum hawa lebih banyak berpikir menggunakan perasaannya. Bisa jadi kejadian dan permintaan para akhwat ini terjadi karena mereka memang menggunakan perasaan daripada rasionya. Atau karena mereka memang diciptakan sangat perasa, sehingga mampu merasakan permasalahan kronis yang terjadi di tubuh kepengurusan KAMDA Banten. Menurut sebuah buku yang Saya baca, perempuan (baca: akhwat) adalah makhluk Allah yang piawai mengelola kepekaan nurani. Mereka rajin mengasah ketajaman mata hati, sehingga peka dengan tanda-tandaa jiwa yang tersuruk. Namun entahlah, Saya sendiri kurang mengerti karena Saya memang bukan akhwat. Adapun satu hal yang Saya mengerti dari akhwat
Akhwat juga manusia
Punya hati dan rasa
Kadang terluka dan kadang bahagia
Sebagai manusia, sesuatu yang wajar apabila akhwat (juga) ingin dimengerti keberadaannya, ingin dimengerti hak dan kewajibannya, ingin dimengerti tugas dan fungsinya, ingin dimengerti semua hal yang berkaitan dengan mereka. Namun, mungkin karena kekurangan kami sebagai ikhwan yang perasaannya tidak sepeka akhwat. Sehingga sampai saat ini masih belum bisa memahami keinginan-keinginan para akhwat yang kadang diungkapkan dengan bahasa-bahasa isyarat daripada bahasa verbal. Jadi tolong dimaafkan. Dan toh akhirnya ikhwan atau akhwat juga sama ingin dimengerti dan harus saling mengerti.Teringat perkataan seorang kawan yang tinggal dikota seberang. “Sebagai seorang perempuan, akhwat juga cenderung berpikir menggunakan perasaannya. Tetapi seharusnya dia juga berpikir rasional. Agar hasil pemikirannya bisa cenderung objektif.” Wallahu a’lam.
M. Afzan

Jadilah Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok."Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut.Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.***Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!"Si buta tertegun. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta." Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.***Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama."Senyap sejenak. Secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya.," sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.***Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."***Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa melihat.Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. (Maaf saya lupa ngambil tulisan ini darimana)