Judul buku : Ketika Cinta Bertasbih (episode 1)
Penulis : Habiburrahman El-Shirazy
Penerbit : Republika – Basmala
Hal : 477 hal, 20,5 x 13,5 cm
Cet. : Pertama, Februari 2007
Hidup memang mengharuskan kita untuk senantiasa berjuang dan berkorban. Berjuang karena hidup ini tidaklah mudah. Berkorban karena takdir tidak selamanya sesuai dengan harapan kita. Menurutku, inilah salah satu pesan yang hendak disampaikan pada karya terbaru Habiburrahman El-Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1.
Seperti hampir semua karyanya yang lain lain. Kang Abik masih mengeksplorasi pengalaman-pengalamannya sewaktu kuliah di Mesir. Novel ini berkisah tentang Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al-Azhar University bernama Khairul Azzam. Takdir Allah membawanya mengenal keindahan bumi para Nabi. Bertemu dengan para ulama yang memiliki keilmuan dan keikhlasan luar biasa. Ulama yang senantiasa berjuang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Takdir memang tidak selamanya sesuai dengan harapan manusia. Azzam yang punya tekad untuk kuliah, belajar dan lulus dengan nilai mumtaz atau jayyid jiddan serta berharap memecahkan rekor dengan menjadi Doktor tercepat, ternyata harus mengubur cita-cita tersebut. Sembilan tahun sudah Azzam kuliah di Al-Azhar, tetapi S1 belum dapat diselesaikannya. Bukan karena dia pemalas atau tidak pintar. Melainkan keadaan yang membuatnya melupakan harapan-harapan di awal dia menginjakkan kaki di Mesir.
Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja, mengumpulkan uang demi ibu dan ketiga adiknya nya di Indonesia. Disaat teman-teman satu angkatannya sudah banyak yang lulus dan pulang ke Indonesia atau sedang menyelesaikan program S2, Azzam masih saja sibuk dengan usahanya menjual Tempe dan Bakso sambil sesekali mencari tambahan melalui acaa-acara di KBRI.
Azzam tinggal di sebuah Flat dengan keempat temannya. Nasir, Fadhil, Ali dan Hafez. Mereka sama-sama dari Indonesia tetapi berbeda daerah. Di Novel ini setiap dari mereka memiliki konflik masing-masing dan digambarkan begitu menyentuh. Terutama Fadhil yang harus berkorban melupakan cinta yang pernah dipendam sekian lama. Hafez yang merasakan cinta setengah mati kepada adik Fadhil, Cut Mala. Kemudian Nasir yang hampir berurusan dengan mafia.
Sebagai mahasiswa kawakan yang dikenal jago masak. Azzam sering kali diminta bantuannya untuk menjadi juru masak dihampir setiap acara KBRI. kepiawaiannya inilah yang membawanya berkenalan dengan Eliana, putri Dubes Indonesia untuk Mesir. Kang Abik membuat sifat tokoh Azzam berbeda dengan tokoh Fahri pada novel Ayat-ayat Cinta. sosok Azzam digambarkan bersifat terbuka, cenderung berkata apa adanya dan punya prinsip yang tinggi. Sampai-sampai tidak pernah memikirkan komentar orang-orang tentang dirinya yang tidak lulus-lulus, dan tetap merahasiakan alasannya bekerja.
Sesuai dengan judulnya, konflik cinta dinovel ini dieksplorasi dengan sangat indah. Jauh dari kesan norak dan cengeng seperti kisah-kisah cinta di sinetron-sinetron kita. Kisah cinta setiap tokoh dibuat agar tidak menabrak koridor-koridor syar’i tetapi tetap menyentuh jiwa. Tengoklah cinta Fadhil dan Tiara, yang sekian lama merasakan cinta namun tetap dipendam karena mereka tahu cintanya belum halal. Tetapi karena rasa tinggi hati dan tidak mau mengakui cinta, mereka harus rela mengorbankan cinta demi sebuah persahabatan.
Azzam sendiri bukan tidak merasakan konflik cinta. Tetapi karena cintanya yang besar kepada Allah, Ibu dan ketiga adiknya, membuatnya tetap berpikir realistis dalam menghadapi cinta. Konflik cintanya dengan Eliana, seakan menguap ketika melihat perilakunya. Anna Alfathunnisa seakan terlupa dari pikirannya ketika ustadz Mujab, saudara Anna memintanya melihat diri hendak menyunting Anna. Cut Mala juga pernah mampir dalam pikirannya. Semuanya mampu dilewati dengan ketegaran yang luar biasa.
Konflik lain dinovel ini adalah munculnya agen Mosad yang sengaja dikirim untuk menghancurkan umat Islam. Dan yang terkena maslah ini adalah Faruq, Mahasiswa Indonesia teman Azzam yang sedang menyelesaikan program S2-nya. Antara satu tokoh dengan tokoh yang lain sebenarnya saling berhubungan, tetapi karena mereka disibukkan dengan menuntut ilmu pembicaraan mereka tidak pernah dihiasai dengan obrolan yang membuang waktu. Tetapi mungkin saja hal ini disengaja, karena novel ini sendiri memang disiapkan dua jilid. Jadi tokoh dan konflik yang diceritakan sengaja diperbanyak agar bisa nyembung dengan jilid ke-2 dari novel ini.
Pada novel ini, saya banyak belajar tentang perjuangan dan pengorbanan. Sebagai seorang anak tertua yang memiliki 5 adik, saya juga berharap agar adik-adik saya bisa meraih kesuksesan. Dan saya harus bisa menjadi orang yang mewujudkan harapan itu dengan berkorban untuk mereka. Kemudian saya juga harus belajar banyak lai tentang mengelola cinta. Sebagai lelaki normal saya juga merasakan cinta. Tetapi kadang yang tersulit adalah mengelolanya. Cinta seharusnya bukan membawa kehinaan melainkan kemuliaan. Kemuliaan menuju keridhoan Allah. Novel ini memberikan pencerahan kepada saya untuk mengelola cinta dan hati agar lebih baik lagi.
Jadi, baca novel ini!. Karena cinta di dalamnya tidak akan membuat kita cengeng atau menangis sedíh. Melainkan akan membawa kemuliaan dan kekuatan untuk senantiasa menjaga keikhlasan kita dalam berjuang dan berkorban. Wallahu a’lam.
Cijawa, 26 Februari 2007
Penulis : Habiburrahman El-Shirazy
Penerbit : Republika – Basmala
Hal : 477 hal, 20,5 x 13,5 cm
Cet. : Pertama, Februari 2007
Hidup memang mengharuskan kita untuk senantiasa berjuang dan berkorban. Berjuang karena hidup ini tidaklah mudah. Berkorban karena takdir tidak selamanya sesuai dengan harapan kita. Menurutku, inilah salah satu pesan yang hendak disampaikan pada karya terbaru Habiburrahman El-Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1.
Seperti hampir semua karyanya yang lain lain. Kang Abik masih mengeksplorasi pengalaman-pengalamannya sewaktu kuliah di Mesir. Novel ini berkisah tentang Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al-Azhar University bernama Khairul Azzam. Takdir Allah membawanya mengenal keindahan bumi para Nabi. Bertemu dengan para ulama yang memiliki keilmuan dan keikhlasan luar biasa. Ulama yang senantiasa berjuang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Takdir memang tidak selamanya sesuai dengan harapan manusia. Azzam yang punya tekad untuk kuliah, belajar dan lulus dengan nilai mumtaz atau jayyid jiddan serta berharap memecahkan rekor dengan menjadi Doktor tercepat, ternyata harus mengubur cita-cita tersebut. Sembilan tahun sudah Azzam kuliah di Al-Azhar, tetapi S1 belum dapat diselesaikannya. Bukan karena dia pemalas atau tidak pintar. Melainkan keadaan yang membuatnya melupakan harapan-harapan di awal dia menginjakkan kaki di Mesir.
Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja, mengumpulkan uang demi ibu dan ketiga adiknya nya di Indonesia. Disaat teman-teman satu angkatannya sudah banyak yang lulus dan pulang ke Indonesia atau sedang menyelesaikan program S2, Azzam masih saja sibuk dengan usahanya menjual Tempe dan Bakso sambil sesekali mencari tambahan melalui acaa-acara di KBRI.
Azzam tinggal di sebuah Flat dengan keempat temannya. Nasir, Fadhil, Ali dan Hafez. Mereka sama-sama dari Indonesia tetapi berbeda daerah. Di Novel ini setiap dari mereka memiliki konflik masing-masing dan digambarkan begitu menyentuh. Terutama Fadhil yang harus berkorban melupakan cinta yang pernah dipendam sekian lama. Hafez yang merasakan cinta setengah mati kepada adik Fadhil, Cut Mala. Kemudian Nasir yang hampir berurusan dengan mafia.
Sebagai mahasiswa kawakan yang dikenal jago masak. Azzam sering kali diminta bantuannya untuk menjadi juru masak dihampir setiap acara KBRI. kepiawaiannya inilah yang membawanya berkenalan dengan Eliana, putri Dubes Indonesia untuk Mesir. Kang Abik membuat sifat tokoh Azzam berbeda dengan tokoh Fahri pada novel Ayat-ayat Cinta. sosok Azzam digambarkan bersifat terbuka, cenderung berkata apa adanya dan punya prinsip yang tinggi. Sampai-sampai tidak pernah memikirkan komentar orang-orang tentang dirinya yang tidak lulus-lulus, dan tetap merahasiakan alasannya bekerja.
Sesuai dengan judulnya, konflik cinta dinovel ini dieksplorasi dengan sangat indah. Jauh dari kesan norak dan cengeng seperti kisah-kisah cinta di sinetron-sinetron kita. Kisah cinta setiap tokoh dibuat agar tidak menabrak koridor-koridor syar’i tetapi tetap menyentuh jiwa. Tengoklah cinta Fadhil dan Tiara, yang sekian lama merasakan cinta namun tetap dipendam karena mereka tahu cintanya belum halal. Tetapi karena rasa tinggi hati dan tidak mau mengakui cinta, mereka harus rela mengorbankan cinta demi sebuah persahabatan.
Azzam sendiri bukan tidak merasakan konflik cinta. Tetapi karena cintanya yang besar kepada Allah, Ibu dan ketiga adiknya, membuatnya tetap berpikir realistis dalam menghadapi cinta. Konflik cintanya dengan Eliana, seakan menguap ketika melihat perilakunya. Anna Alfathunnisa seakan terlupa dari pikirannya ketika ustadz Mujab, saudara Anna memintanya melihat diri hendak menyunting Anna. Cut Mala juga pernah mampir dalam pikirannya. Semuanya mampu dilewati dengan ketegaran yang luar biasa.
Konflik lain dinovel ini adalah munculnya agen Mosad yang sengaja dikirim untuk menghancurkan umat Islam. Dan yang terkena maslah ini adalah Faruq, Mahasiswa Indonesia teman Azzam yang sedang menyelesaikan program S2-nya. Antara satu tokoh dengan tokoh yang lain sebenarnya saling berhubungan, tetapi karena mereka disibukkan dengan menuntut ilmu pembicaraan mereka tidak pernah dihiasai dengan obrolan yang membuang waktu. Tetapi mungkin saja hal ini disengaja, karena novel ini sendiri memang disiapkan dua jilid. Jadi tokoh dan konflik yang diceritakan sengaja diperbanyak agar bisa nyembung dengan jilid ke-2 dari novel ini.
Pada novel ini, saya banyak belajar tentang perjuangan dan pengorbanan. Sebagai seorang anak tertua yang memiliki 5 adik, saya juga berharap agar adik-adik saya bisa meraih kesuksesan. Dan saya harus bisa menjadi orang yang mewujudkan harapan itu dengan berkorban untuk mereka. Kemudian saya juga harus belajar banyak lai tentang mengelola cinta. Sebagai lelaki normal saya juga merasakan cinta. Tetapi kadang yang tersulit adalah mengelolanya. Cinta seharusnya bukan membawa kehinaan melainkan kemuliaan. Kemuliaan menuju keridhoan Allah. Novel ini memberikan pencerahan kepada saya untuk mengelola cinta dan hati agar lebih baik lagi.
Jadi, baca novel ini!. Karena cinta di dalamnya tidak akan membuat kita cengeng atau menangis sedíh. Melainkan akan membawa kemuliaan dan kekuatan untuk senantiasa menjaga keikhlasan kita dalam berjuang dan berkorban. Wallahu a’lam.
Cijawa, 26 Februari 2007
No comments:
Post a Comment