Kemarin pagi tanpa sengaja aku membaca majalah Annida. Majalah yang sangat jarang kubaca, karena aku menganggap tidak sesuai lagi dengan usiaku. Aku buka lembar demi lembar. Tanpa sengaja salah satu topik menarik penglihatanku. Topik tentang Blog. Tulisannya membuatku tertantang untuk terus membaca.
Dibagian pembuka tertulis dua buah pertanyaan pilihan tentang cinta. Pertanyannya adalah : Apakah kita menikahi orang yang kita cintai atau mencintai orang yang kita nikahi? Pertanyaan ini menggelitik perasaanku. Pertanyaan yang selama ini ingin aku dapatkan jawabannya.
Jujur saja di lingkunganku saat ini, aku masih belum mengerti tentang tata cara memandang cinta. Di satu sisi aku sering mendengar bahwa cinta adalah sesuatu yang fitrah dan tidak akan bisa dilepaskan dari sisi kemanusiaan. Akan tetapi di pihak yang lain, aku melihat sendiri ada yang memperlihatkan muka masam saat melihat buku-buku milikku yang bertemakan cinta. Sebenarnya Boleh tidak kita jatuh cinta?
Teringat pertanyaan seorang teman yang belum lama ini menginap di tempatku. ”Sebenarnya boleh ga’ sih kita mengajukan pilihan kalau mau nikah?”. Aku menjawab: ”Boleh, apa yang mau dilarang?”. Sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku, dan setelah menemukan majalah Annida tadi pagi, ketidak yakinanku semakin besar saja.
Malamnya aku pun bertanya pada 2 orang temanku tentang 2 pilihan cinta di atas. Teman yang pertama memilih yang kedua. Karena menurutnya pilihan yang pertama lebih dekat dengan pacaran yang sudah jelas-jelas tidak ada contohnya dalam Islam. Sedangkan teman yang kedua menjawab pilihan yang pertama. Tetapi sayangnya teman kedua menjawabnya sambil bercanda. Jadinya aku tidak yakin dengan jawabannya.
Mendengar jawaban dua orang temanku, timbul lagi pertanyaan baru di benakku. Kapan seseorang disebut pacaran ketika orang yang dicintai tidak tahu tentang perasaan orang yang mencintainya? Apakah ketika seseorang menikah tidak boleh ada rasa cinta terlebih dahulu? Ah, aku benar-benar semakin pusing.
Saat ini tentu berbeda zamannya dengan awal-awal penyebaran dakwah. Dunia komunikasi sudah terbuka luas. Telpon, Hape, E-mail, Freindster, Blog bukan lagi hal yang aneh. Jadi bukan sesuatu yang aneh jika kita bisa kenal dengan orang di belahan bumi yang lain. Bagaimana ketika cinta datang saat itu? Adakah yang bisa disalahkan? Kalau ada siapa?. Sesungguhnya aku bukan ingin mencari pembenaran, melainkan hanya menginginkan sebuah jawaban yang bisa diterima secara logika.
Ada sebuah tanda tanya besar, ketika salah satu temanku hendak menikah. Dia mengundur satu minggu jadwal menikahnya. Kemudian salah seorang ustadz berkata dengan nada agak tinggi ”Sebenarnya dia nikah karena Allah atau karena cinta”. Wah cinta jadi korban lagi. Lirihku saat itu. Kenapa cinta dipersalahkan lagi?. Apakah menikah karena Allah tidak boleh ada rasa cinta terlebih dahulu?. Apakah kalau ada rasa cinta nikahnya bukan karena Allah?. Lalu apa ukuran seseorang menikah karena Allah?. Ah, benar-benar pertanyaan yang membuatku bingung.
Ah sudahlah!. Kita kembali lagi pada dua pertanyaan di atas. Tahun ini, visi hidupku adalah menikah meski belum bisa memastikan pada bulan apa. Tetapi aku sudah menyiapkan kriteria perempuan yang ku inginkan. Tidak banyak dan hanya berisi kriteria umum yang bisa siapa saja sesuai dengan kriteria tersebut. Masalahnya, Salahkah jika saat mengajukan kriteria tersebut dibarengi juga dengan nama orangnya? Aku ingin juga merasakan bagaimana rasanya mencintai orang yang kita nikahi. Karena mungkin saja orang yang kita nikahi belum terlalu kita kenal. Tetapi bagaimana ketika kita telah merasakan suatu getaran terlebih dahulu terhadap seseorang dan kemudian kita mengajukan namanya untuk diproses. Apakah pengajuan tersebut kemudian ditolak dan batal? Ah, aku memang betul-betul awam dalam hal ini.
Menuju pernikahan, dua pertanyaan di atas memang layak untuk diajukan. Salah satunya untuk menguji keikhlasan seseorang terhadap pilihan hidupnya. Pastinya kita sepakat, bahwa menikah adalah sebuah pilihan hidup yang hars dipertanggung jawabkan. Aku sendiri sampai saat ini, masih mencari jawaban atas dua pertanyaan diatas. Aku mencoba belajar untuk mencintai orang yang akan aku nikahi karena aku ingin terhindar dari fitnah cinta. Tetapi aku juga ingin seperti Khadijah atau Fatimah yang menikah dengan pasangan yang mereka cintai, yakni Rasulullah dan Ali. So, Bisa tidak dua pertanyaan di atas disatukan dan hanya dijawab dengan satu jawaban? Sehingga kita bisa menikah dengan orang yang kita cintai sekaligus kita belajar dalam memahami cinta orang yang kita nikahi. (Wallahu a'lam)
Dibagian pembuka tertulis dua buah pertanyaan pilihan tentang cinta. Pertanyannya adalah : Apakah kita menikahi orang yang kita cintai atau mencintai orang yang kita nikahi? Pertanyaan ini menggelitik perasaanku. Pertanyaan yang selama ini ingin aku dapatkan jawabannya.
Jujur saja di lingkunganku saat ini, aku masih belum mengerti tentang tata cara memandang cinta. Di satu sisi aku sering mendengar bahwa cinta adalah sesuatu yang fitrah dan tidak akan bisa dilepaskan dari sisi kemanusiaan. Akan tetapi di pihak yang lain, aku melihat sendiri ada yang memperlihatkan muka masam saat melihat buku-buku milikku yang bertemakan cinta. Sebenarnya Boleh tidak kita jatuh cinta?
Teringat pertanyaan seorang teman yang belum lama ini menginap di tempatku. ”Sebenarnya boleh ga’ sih kita mengajukan pilihan kalau mau nikah?”. Aku menjawab: ”Boleh, apa yang mau dilarang?”. Sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku, dan setelah menemukan majalah Annida tadi pagi, ketidak yakinanku semakin besar saja.
Malamnya aku pun bertanya pada 2 orang temanku tentang 2 pilihan cinta di atas. Teman yang pertama memilih yang kedua. Karena menurutnya pilihan yang pertama lebih dekat dengan pacaran yang sudah jelas-jelas tidak ada contohnya dalam Islam. Sedangkan teman yang kedua menjawab pilihan yang pertama. Tetapi sayangnya teman kedua menjawabnya sambil bercanda. Jadinya aku tidak yakin dengan jawabannya.
Mendengar jawaban dua orang temanku, timbul lagi pertanyaan baru di benakku. Kapan seseorang disebut pacaran ketika orang yang dicintai tidak tahu tentang perasaan orang yang mencintainya? Apakah ketika seseorang menikah tidak boleh ada rasa cinta terlebih dahulu? Ah, aku benar-benar semakin pusing.
Saat ini tentu berbeda zamannya dengan awal-awal penyebaran dakwah. Dunia komunikasi sudah terbuka luas. Telpon, Hape, E-mail, Freindster, Blog bukan lagi hal yang aneh. Jadi bukan sesuatu yang aneh jika kita bisa kenal dengan orang di belahan bumi yang lain. Bagaimana ketika cinta datang saat itu? Adakah yang bisa disalahkan? Kalau ada siapa?. Sesungguhnya aku bukan ingin mencari pembenaran, melainkan hanya menginginkan sebuah jawaban yang bisa diterima secara logika.
Ada sebuah tanda tanya besar, ketika salah satu temanku hendak menikah. Dia mengundur satu minggu jadwal menikahnya. Kemudian salah seorang ustadz berkata dengan nada agak tinggi ”Sebenarnya dia nikah karena Allah atau karena cinta”. Wah cinta jadi korban lagi. Lirihku saat itu. Kenapa cinta dipersalahkan lagi?. Apakah menikah karena Allah tidak boleh ada rasa cinta terlebih dahulu?. Apakah kalau ada rasa cinta nikahnya bukan karena Allah?. Lalu apa ukuran seseorang menikah karena Allah?. Ah, benar-benar pertanyaan yang membuatku bingung.
Ah sudahlah!. Kita kembali lagi pada dua pertanyaan di atas. Tahun ini, visi hidupku adalah menikah meski belum bisa memastikan pada bulan apa. Tetapi aku sudah menyiapkan kriteria perempuan yang ku inginkan. Tidak banyak dan hanya berisi kriteria umum yang bisa siapa saja sesuai dengan kriteria tersebut. Masalahnya, Salahkah jika saat mengajukan kriteria tersebut dibarengi juga dengan nama orangnya? Aku ingin juga merasakan bagaimana rasanya mencintai orang yang kita nikahi. Karena mungkin saja orang yang kita nikahi belum terlalu kita kenal. Tetapi bagaimana ketika kita telah merasakan suatu getaran terlebih dahulu terhadap seseorang dan kemudian kita mengajukan namanya untuk diproses. Apakah pengajuan tersebut kemudian ditolak dan batal? Ah, aku memang betul-betul awam dalam hal ini.
Menuju pernikahan, dua pertanyaan di atas memang layak untuk diajukan. Salah satunya untuk menguji keikhlasan seseorang terhadap pilihan hidupnya. Pastinya kita sepakat, bahwa menikah adalah sebuah pilihan hidup yang hars dipertanggung jawabkan. Aku sendiri sampai saat ini, masih mencari jawaban atas dua pertanyaan diatas. Aku mencoba belajar untuk mencintai orang yang akan aku nikahi karena aku ingin terhindar dari fitnah cinta. Tetapi aku juga ingin seperti Khadijah atau Fatimah yang menikah dengan pasangan yang mereka cintai, yakni Rasulullah dan Ali. So, Bisa tidak dua pertanyaan di atas disatukan dan hanya dijawab dengan satu jawaban? Sehingga kita bisa menikah dengan orang yang kita cintai sekaligus kita belajar dalam memahami cinta orang yang kita nikahi. (Wallahu a'lam)
Cijawa, 22 Februari 2007
No comments:
Post a Comment