Tidak terasa usiaku menginjak tahun ke 25 tahun ini. Di awal tahun ini, menikah adalah target hidupku. Tetapi aku memang belum seberani 2 orang sahabatku yang akhir pekan ini melaksanakan khitbah (lamaran). Atau seperti 2 orang sahabatku yang lain, yang pekan ini juga telah melaksanakan ta’aruf (perkenalan) untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Dan kemudian akan dilanjutkan dengan taaruf dengan keluarga.
Menikah adalah sebuah keputusan besar. Keputusan yang tidak bisa diambil dengan gegabah melainkan butuh pemikiran yang matang, kesiapan ruhiyah, fikriyah, maaliyah maupun jasadiyah. Ditambah lagi dengan kesiapan dari keluarga kita untuk mau menerima calon keluarga baru yang mungkin saja kurang sesuai dengan yang mereka harapkan.
Keberanian juga adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak menikah. Keberanian senantiasa bergandengan dengan ketenangan dan keoptimisan karena ketiganya adalah buah dari keistiqomahan seseorang terhadap nilai dan ideologi yang dianutnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda bahwa Istiqomah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Sehingga saat Abu Sufyan bertanya sesuatu tentang hal terpenting yang membuat dia tidak bertanya lagi tentang Islam, maka Rasulullah menjawab, : Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqomahlah (terhadap yang kau imani tersebut).
Menikah adalah bagian keimanan. Sebagaimana yang sering disebutkan dalam hadits-hadits bahwa menikah adalah menggenapkan setengah dien. Hal ini berarti bahwa agama yang kita imani ini hanya bernilai setengah karena kita belum menggenapkannya dengan menikah. Mahal benar nilai menikah, karena ia sama dengan setengah dien seseorang. So, siapa yang ingin mendapatkan setengah dien-nya maka menikahlah.
Tetapi kita juga harus ingat bahwa menikah bukan hanya mengharapkan yang indah-indah dan baiknya saja. Sebagai salah satu bagian dari perjalanan hidup manusia, menikah juga memiliki hal-hal yang mungkin akan membuat hati kita sakit dan merana. Dibutuhkan daya tahan yang besar untuk mengahadapi kesulitan dan penderitaan yang akan menguji sajauh mana kesabaran kita dalam menggenggam setengah dien ini.
Hal ini, kata Faudzil Adzim mungkin berawal dari niat kita untuk menikah. Apakah niat kita memang sudah lurus atau ikhlas belum untuk mengenapkan dien ini. Jangan-jangan ada setitik debu yang menodai niat awal kita. Sehingga keberkahan Allah tidak kunjung kita terima dalam menjalani proses menuju jalan pernikahan tersebut. Tentu kiat ingat dengan peristiwa hijrahnya para sahabat dari kota suci mekkah menuju yatsrib. Saat itu ada sahabat yang berhijrahnya bukan karena Allah melainkan karena janji pada seseorang yang akan menikahkan dirinya dengan salah seorang shohabiyah yang bernama Ummu Qois. Peristiwa ini yang kemudian menjadi asal-muasal hadits pertama dalam urutan hadits Arba’in An-Nawawiyah.
Ah, mereka memang sudah siap. Sehingga berani mengambil keputusan besar itu. Tetapi bukan berarti aku tidak siap dan tidak berani, Melainkan aku juga berani mengambil sebuah keputusan bahwa aku sedikit memperlambat target menikahku menjadi di akhir tahun.
Menikah adalah sebuah keputusan besar. Keputusan yang tidak bisa diambil dengan gegabah melainkan butuh pemikiran yang matang, kesiapan ruhiyah, fikriyah, maaliyah maupun jasadiyah. Ditambah lagi dengan kesiapan dari keluarga kita untuk mau menerima calon keluarga baru yang mungkin saja kurang sesuai dengan yang mereka harapkan.
Keberanian juga adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak menikah. Keberanian senantiasa bergandengan dengan ketenangan dan keoptimisan karena ketiganya adalah buah dari keistiqomahan seseorang terhadap nilai dan ideologi yang dianutnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda bahwa Istiqomah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Sehingga saat Abu Sufyan bertanya sesuatu tentang hal terpenting yang membuat dia tidak bertanya lagi tentang Islam, maka Rasulullah menjawab, : Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqomahlah (terhadap yang kau imani tersebut).
Menikah adalah bagian keimanan. Sebagaimana yang sering disebutkan dalam hadits-hadits bahwa menikah adalah menggenapkan setengah dien. Hal ini berarti bahwa agama yang kita imani ini hanya bernilai setengah karena kita belum menggenapkannya dengan menikah. Mahal benar nilai menikah, karena ia sama dengan setengah dien seseorang. So, siapa yang ingin mendapatkan setengah dien-nya maka menikahlah.
Tetapi kita juga harus ingat bahwa menikah bukan hanya mengharapkan yang indah-indah dan baiknya saja. Sebagai salah satu bagian dari perjalanan hidup manusia, menikah juga memiliki hal-hal yang mungkin akan membuat hati kita sakit dan merana. Dibutuhkan daya tahan yang besar untuk mengahadapi kesulitan dan penderitaan yang akan menguji sajauh mana kesabaran kita dalam menggenggam setengah dien ini.
Hal ini, kata Faudzil Adzim mungkin berawal dari niat kita untuk menikah. Apakah niat kita memang sudah lurus atau ikhlas belum untuk mengenapkan dien ini. Jangan-jangan ada setitik debu yang menodai niat awal kita. Sehingga keberkahan Allah tidak kunjung kita terima dalam menjalani proses menuju jalan pernikahan tersebut. Tentu kiat ingat dengan peristiwa hijrahnya para sahabat dari kota suci mekkah menuju yatsrib. Saat itu ada sahabat yang berhijrahnya bukan karena Allah melainkan karena janji pada seseorang yang akan menikahkan dirinya dengan salah seorang shohabiyah yang bernama Ummu Qois. Peristiwa ini yang kemudian menjadi asal-muasal hadits pertama dalam urutan hadits Arba’in An-Nawawiyah.
Ah, mereka memang sudah siap. Sehingga berani mengambil keputusan besar itu. Tetapi bukan berarti aku tidak siap dan tidak berani, Melainkan aku juga berani mengambil sebuah keputusan bahwa aku sedikit memperlambat target menikahku menjadi di akhir tahun.
No comments:
Post a Comment