Penerbit : Tarawang Press
Terbitan : Pertama, Mei 2003
Jenis : Sastra-Sosial-Humaniora
Hal : 240 Hal
Ukuran : 15,5 x 12 cm
ISBN : 979-8682-29-7
Membaca Karya Najib Kailani kita diajak menyelami sejarah Islam yang sarat hikmah. Gaya penceritaannya sederhana dan tidak rumit. Walaupun alurnya tidak ada sesuatu yang meledak-ledak tetapi akhir ceritanya kadang berbeda dengan apa yang kita persepsikan diawal membaca karya-karyanya.
Buku Air Mata Penguasa berisi kumpulan 11 cerita pendek, yang kisahnya mungkin sudah kita dengar dari orang tua ataupun guru kita saat dirumah maupun disekolah. Kisahnya diramu seakan mempunyai keterkaitan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Penceritaan tokohnya dibuat hingga menyentuh sisi konflik batin dan psikologis seakan kita diajak turut merasakan kondisi setiap tokoh di dalamnya. Kisah-kisah tersebut adalah :
1. Abu Ma’zi
Perjuangan rakyat Aljazair menjadi latar cerpen ini. Tokoh sentralnya adalah seorang pejuang bernama Abu Ma’zi. Setelah berhasil ditangkap oleh penjajah Perancis, Abu Ma’zi menghadapi pengadilan yang sangat melelahkan disamping harus menanggung siksaan yang berat dan dikurung ditempat yang gelap. Hal ini dilakukan untuk meruntuhkan pendiriannya tentang perjuangan membela rakyat Aljazair. Sekaligus untuk menyurutkan perlawanan para pejuang. Akan tetapi alih-alih mampu menundukkan para pejuang, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat semakin terpompa semangatnya untuk melepaskan diri dari penjajahan Negara Perancis, dan kemudian melahirkan Abu Ma’zi-Abu Ma’zi baru diseantero Aljazair.
Pergulatan batin Abu Ma’zi terjadi semasa dia dipenjara yang pengap. Akankah dia menyerah dan kemudian membuka mulut pada para penjajah demi keselamatannya. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan suasana penjara yang sengaja dibuat untuk meruntuhkan pendirian para pejuang. Cambukan dan makian senantiasa mampir, erangan dan teriakan kesakitan dari para tahanan terengar tanpa henti. Makanan kering, tenggorokan haus menjadi menu sehari-hari. Akhirnya hukuman pun dijatuhkan kepada Abu Ma’zi. Hukuman yang dinilai mampu meruntuhkan perlawanan. tetepi benarkah seperti itu? Wallahu a’lam.
2. Air Mata Walikota
Kekuasaan memang melenakan, jika berada ditangan orang yang lemah keimanan. Kekuasaan dijadikan alat untuk memperkaya diri dan berbuat semena-mena terhadap rakyat. Rakyat bukan diayomi dan dilindungi tetapi malah ditindas dan didzalimi. sungguh celaka pemimpin seperti ini.
Cerpen Air Mata Walikota adalah kisah detik-detik lengsernya kekuasaan Walikota Madinah pada masa Khalifahan Bani Umayyah I, Hisyam bin Ismail Al-Mahzumi. Konflik Batin penguasa yang hendak jatuh digambarkan begitu detail. Sehingga penggambaran dalam mimpi pun amat menakutkan baginya.
”Di sekeliling tempat dudukku ada bebrapa orang yang berdiri. Wajah-wajah mereka nyaris sama. Apakah di sisni ada banyak orang kembar? Hatiku bertanya Pandangan mereka tertuju kepadaku; tajam, panas, seakan semua menjadi anak panah yang menujuku. Kemudian, di sekeliling mereka berdiri beberapa pengawal, tentara, dan pasukan yang melarang orang-orang tadi berlari. Para tentara itu membawa cemeti panjang yang sesekali dibunyikan, suaranya yang keras menakutkan wajah-wajah yang ada disekelilingku”.
Janji Allah terbukti, bahwa sikap manusia kepada kita tergantung bagaimana kita bersikap kepada mereka. Apabila kita suka berlaku kejam maka akan ada balasan untuk kita. Di akhirat kelak maupun di dunia ini. Hisyam bin Ismail Al-Mahzumi merasakan bahwa para tentara, karyawan dan rakyatnya tidak lagi menghormati dirinya, saat dia melewati jalanan menuju kantor walikota. Tidak ada lagi penghormatan, tidak ada lagi rasa segan maupun sungkan. Mereka sudah berani untuk beradu mata dengan Hisyam.
Dunia terasa sempit baginya, saat surat pemecatan dari Khalifah datang. dengan perasaan campur aduk dia berlari kerumah dan mengajak istrinya untuk melarikan diri. Ketakutannya pada balasan masyarakat membuat dia berubah dari penguasa bertangan besi menjadi seorang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Hilanglah semua yang dimiliki Hisyam. Harta dan kekuasaan tidak dapat menyelamatkan dirinya. Menyesal menjadi sesuatu yang terlambat dan tiada berguna. Tidak ada sebuah kenangan pun yang dapat diingat oleh masyarakat Madinah kecuali tentang kekejamannya. Sungguh naas nasib menimpanya.
Di dalam Al-Qur’an, Allah sudah mengingatkan kepada seluruh hamba-Nya untuk berhati-hati terhadap 3 fitnah dunia. Yakni Tahta, Harta dan Wanita. Hisyam telah lupa diri. Tahta atau kekuasaan telah membutakan mata hatinya. Kekuasaan dijadikan alat untuk menindas dan menakut-nakuti rakyat. Kekuasaannya digunakan untuk menumpuk-numpuk harta dunia. Dan dia juga mendapatkan istri yang tidak jauh berbeda sikap dengannya. Bukan menjadi orang yang mengingatkan suami tetapi menjadi istri yang melenakan suami dan merasa betah dengan kdzalimannya.
Maha Besar Allah yang mengetahui segala perkara di dunia ini. Diciptakannya semua perangkat untuk menolong manusia dari jurang dosa. Tetapi kadang manusia suka bersifat lalai dan lupa, sehingga selalu terperosok ke dalam kubangan dunia yang membuat hina. Wallahu a’lam.
3. Calon Pengantin yang Sia-sia
Allah berfirman dalam Al-Qur’an : Sesungguhnya orang yang takut terhadap adzab Allah adalah Ulama. Bagaimana jadinya jika Ulama yang seharusnya takut kepada Allah ternyata takut pada penguasa dan menjadi antek-anteknya untuk melegalkan keinginan sang penguasa?. Jawabannya adalah kehancuran.
Ulama adalah penjaga gawang moral dan akhlak masyarakat. Adalah sebuah kehinaan bagi seorang yang mengaku ulama ternyata pekerjaannya adalah menjilat kepada penguasa. Takut hidup miskin, takut ketika menyuarakan kebenaran, takut mati menjadi alasan. Mereka lupa akan sabda Nabi yang meminta umatnya berhati-hati terhadap penyakit Wahn-Cinta dunia dan takut mati.
Itulah gambaran yang terjadi pada masa Khalifahan Utsmaniyah. Para ulama menjadi penyetempel semua kebijakan penguasa, meski kebijakannya menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Ketika ada seorang alim yang mencoba menyuarakan kebenaran dan hidup tanpa mengemis kepada penguasa, mereka menganggapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat. Ditangkaplah ia dan dihukum dengan sangat kejam sehingga menimbulkan keguncangan jiwa bagi orang yang mendengarnya.
Cerpen Calon Pengantin yang Sia-sia, mencoba membidik tema tersebut. Gambaran seorang ulama yang ingin hidup bahagia dan indah dalam naungan Islam bernama Ibrahim. Tetapi di hadapannya berdiri dengan pongah, tiran yang senantiasa menebar kedzaliman pada masyarakat. Saat lidahnya tegas menyampaikan kebenaran, kesyahidan adalah balasan yang setimpal untuk jihadnya. Dia paham bahwa jihad tertinggi adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim.
Mimpi-mimpinya sirna bersama terpejamnya kilau mata. Keluarga bahagianya pun turut menjadi korban. Mimpi untuk anak lelakinya hilang bersama dendam kesumat yang merajalela. Kemudian tiada terdengar lagi bersama kesyahidan yang memanggil surga. Lalu bagaimanakah ulama-ulama kita saat ini?. Wallahu a’lam.
4. Tragedi Berdarah di Damsyik
Wihdatul Ummah (Persatuan umat) adalah impian abadi. Impian yang senantiasa dikumandangkan oleh para mujahid sepanjang masa. Lihatlah umat Islam saat ini, berapa jumlah mereka?. Jawabannya adalah bermilyar. Umat Islam saat ini tidak seperti saat awal agama ini datang di jazirah Arab. Islam telah menyebar ke seluruh pelosok negeri. Tidak ada satu pun negara yang tidak ada orang yang mengucapkan kalimat La Ilaha illallah. Tidak ada satu negara pun yang tidak mengenal agama ini. Tetapi, mengapa masih banyak umat Islam yang hidup dibawah garis kemiskinan? Mengapa antar negara Islam masih ada yang saling bermusuhan dan tidak mau salig mambantu?. Mengapa perpecahan masih terjadi karena hal-hal sepele?
Persatuan umat yang senantiasa diajarkan Rasulullah seakan menjadi sia-sia. Karena para penguasa lebih mementingkan kekuasaannya dan seakan tidak peduli dengan nasib rakyat. Allah Maha Adil. Dia akan terus mengutus hambanya yang shalih untuk senantiasa memperbaiki keadaan umat. Tersebutlah Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah, seorang mujaddid sekaligus mujahid yang mengangkat senjata melawan tentara Tartar yang kejam lagi bengis. Disaat raja Mesir menarik kembali pasukannya yang hendak membantu wilayah Syam yang hendak dijajah oleh tentara Tartar, merah padamlah mukanya. Dengan kemarahan yang nyata, sang raja pun menjadi sasaran tintanya.
Disaat tentara Islam memudar semanagatnya. Dia kobarkan kembali semanagat tersebut dengan janji-janji kemenangan dari Allah. Bahwa Allah akan senantiasa memenangkan hamba-hamba-Nya saat mereka selalu bersiap dengan segala keadaan disertai dengan keimanan, maka tidak ada alasan umat Islam mengalami kekalahan. Dan terbukti persatuan tentara Mesir dan Syam menjadi kekuatan dahsyat yang mampu mengahncurkan tentara Tartar saat itu.
Persatuan ibarat lidi yang disatukan kemudian disebut sapu lidi, maka tidak akan mudah dipatahkan. akan tetapi saat lidi hanya berserakan maka akan mudah untuk dihancurkan, dan itulah perceraian.
5. Abu Dzar Pejuang Sejati
Perjuangan memang tidak mengenal tempat, waktu dan keadaan. Perjuangan bukan mengharapkan pujian dari manusia. Berkata tidak kepada penguasa yang lupa daratan adalah kewajiban. Seorang penyeru kebenaran tetaplah seorang penyeru, dimana pun ia ditempatkan. Perjuangan tidak boleh tunduk pada kekuasaan, bahkan perjuangan harus mampu menembus sendi-sendi kekuasaan agar sesuai dengan petunjuk Ilahiyah.
Kisah perjuangan Abu Dzar menyadarkan masyarakat Kuffah akan hak-haknya yang terampas penguasa. Tiada kata lelah dan sungkan meski penguasa tersebut adalah teman seperjuangan semasa di Madinah. Ketegasannya membuat penguasa merasa terancam sehingga berusaha menyingkirkannya dari Kuffah.
Tetapi begitulah karakter pejuang, tidak ada kata henti sebelum nyawa lepas dari badan. Abu Dzar tetap saja bersuara lantang terhadap kedzaliman. Ketika Perjuangan berpadu dengan keimanan yang lahir adalah Pahlawan. Abu Dzar adalah salah satunya. Wallahu a’lam.
6. Oh Husein
Ahlul Bait adalah keturunan Rasulullah yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi tidak ada lagi status saat kekuasaan begitu melenakan. Saat intrik politik dikedepankan, yang ada adalah kesumat berkepanjangan. Bahkan kebiadaban pun menjadi kebiasaan.
Mungkin inilah dosa terbesar kekhilafahan Bani Umayyah pada masa Yazid bin Mu’awiyah. Dosa yang menjadi aib sepanjang sejarah. Padang Karbala menjadi saksi kekejian tentara Yazib. Kebiadaban yang tidak pernah terlintas dibenak siapapun kecuali dikepala orang-orang yang tidak mengenal Allah.
Syahid mengantarkan Husein kepada Kekasihnya. Bersama terpisahnya kepala dari jasad. Diringi ratapan para perempuan dan anak-anak yang ketakutan, bersama tawa membahana kawanan penjagal yang tidak punya rasa kemanusiaan.
7. Hati yang Besar
Kepekaan hati didapatkan melalui kedekatan interaksi dengan Allah. Menangislah mata saat kesengsaraan terhampar di depan kepala. Bersedekah di jalan Allah adalah perintah yang harus dijemput dengan segera. Tempat harta bukanlah di hati tetapi di tangan. Ketika ada yang lebih membutuhkan maka tidak ada alasan untuk menunda kebaikan.
Abdullah bin Mubarak patut menjadi tauladan. Tidak ada penyesalan saat kerinduan mendatangi bumi rasul tertunda demi menolong seorang gadis kecil dari kesengsaraan. Teringat Surat Al-Muzammil ayat ke-20. Allah mengetahui kemampuan setiap hamba-hamba-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Tetapi Allah tetap memerintahkan mereka untuk senantiasa mendirikan shalat, tilawah, zakat dan berjihad di jalan-Nya dengan penuh keikhlasan. Keikhlasan akan hadir ketika Allah dan Rasul-Nya didahulukan daripada kepentingan yang lain.
8. Imam yang Agung
Melarang seorang Imam mengeluarkan fatwa bagi umat adalah sebuah kebinasaan. Membatasi fatwa adalah kejumudan. Seorang Imam atau ulama adalah penerang di jalanan gelap gulita. Kebijaksanaannya merupakan kebaikan bagi umat. Imam Abu Hanifah mengajarkan bahwa ulama adalah penyuara kebenaran, suaranya tidak boleh terhalang atau tunduk pada kekuasaan. Imam yang arif senantiasa menebarkan kerinduan pada Allah. Fatwa-fatwanya lebih tajam daripada pedang para pejuang. Seorang imam menjadi agung karena kata-katanya yang bjak dan membawa kedamaian.
9. Raja Ulama
Perebutan kekuasaan pada masa kekhalifahan adalah keseharian bahkan melibatkan pihak-pihak yang awalnya tidak punya kepentingan. Penguasa yang terlena dengan kekuasan seakan terus menghiasi panggung sejarah. Umat semakin porakporanda oleh pongahnya penguasa. Teror dan kedzaliman menjadi menu sehari-hari yang dimakan oleh rakyat kebanyakan.
Orang-orang saleh yang ingin lepas dari kedzaliman menjadi musuh abadi. segala upaya dilakukan untuk membungkam mulut para penyeru kebenaran. Bahkan dengan cara yang tidak berprikemanusiaan. Nemun, Allah tetap menyayangi hamba-hamba-Nya yang penuh keikhlasan dalam berjuang. Pertolongannya adalah janji yang tak akan pernah diingkari. Sehingga kebenaran tetap akan menang.
10. Seorang Musafir
Ajarkanlah anakmu sastra karena ia akan membuatnya mnejadi seorang pemberani. Begitulah kira-kira ucapan bijak Umar bin Khattab. Menjadi seorang penyair di masa kekhalifahan adalah profesi yang menjanjikan. profesi yang berlimpah dengan kekayaan. Apalagi syair-syairny mampu menyenangkan hati penguasa yang haus pujian.
Tetapi syair menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan penguasa yang diliputi keikhlasan. Baginya syair begitu melenakan. Cukuplah Al-Quran menjadi penenang dalam setiap keadaan. Tersebutlah penyair kerajaan bani Umayyah yang ingin memberikan pujian keada khalifah barunya. Dipersiapkannya kata-kata penuh sanjungan demi harta yang hendak dibawa pulang.
Sungguh malang. Khalifahnya adalah pecinta keabadian yang tidak melenakan. Penyair laksana Musafir yang mudah berlalu. Kata-katanya bukan hanya menjadi penghias tetapai penyemangat kehidupan. Bersyukurlah saat mampu menahan memberi pemanis pada ucapan kita. Karena kata-kata juga mampu menghantarkan kita pada surga yang abadi dan kekal.
11. Sa’ad bin Abi Waqash dan Ibunya
Ingatkah kita bahwa Surga ada di bawah telapak kaki Ibu. ingatkah kita juga bahwa kedudukan ibu lebih tinggi tiga tingkat dibanding bapak kita. Jadi berbuat baik kepadanya adalah kewajiban.
Namun apa uang terjadi saat ibu kita menyuruh pada kekufuran. Saad bin Abi Waqash mengajarkan kita arti berbakti pada ibu yang berbeda keyakinan. Tidak ada ketaatan pada manusia dalam berbuat makshiat terhadap sang Pencipta. Begitu kira-kira yang hendak disampaikan. Sehingga teguhnya pendirian mampu meluluhkan karang yang telah memisahkan nasab dan keturunan.
Membaca antologi ini, serasa membuka kembali lembaran-lembaran sejarah kelam dunia Islam. Kekuasaan, harta dan nafsu telah dituhankan. Disembah dan dipuja seakan ia akan langgeng sampai akhir zaman. Tidak merasakan kehadiran Allah yang setiap waktu mengawasi tingkah laku kita. Allah maha Adil. Saat ada penoda Agama, dihadirkannya juga orang yang akan memperbaharui agama ini dari tangan-tangan kotor penguasa yang kejam. Tidak ada kata henti untuk terus menyuarakan kebenaran. Karena Janji Allah pasti adatang untuk memenangkan penyeru kebenaran. Wallahu a’lam.
Serang, 19-20 Februari 2007
No comments:
Post a Comment