Oleh : M. Afzan
Bangsal. Tentunya kat a ini pasti pernah kita dengar, Dan pikiran kita pasti akan langsung tertuju kepada tempat para prajurit atau tentara biasa tinggal. Ruangan tempat mereka beristirahat selama masa latihan. Satu ruangan dipakai untuk sekian banyak orang sehingga terasa sesak.
Hari Jum’at lalu seorang teman masuk Rumah Sakit. Terkena gejala typus dan demam berdarah. Aku bisa membayangkan badannya yang kurus mungkin terlihat semakin lemah. Biasa, temanku yang satu ini memang dikenal kurang bisa mengatur prioritas pekerjaan. Kadang-kadang begadang sampai semalam suntuk mengetik di depan komputer. Entah disebut pekerja keras atau keras kepala.
Aku sendiri tidak langsung menjenguk teman yang sakit tersebut, baru hari senin aku sempat atau lebih tepatnya aku sempatkan untuk menjenguk bersama temanku yang lain. Sebelumnya kami harus menghubungi teman yang sudah sempat menjenguk, dan kami diberitahu bahwa teman kami ditempatkan di ruang Cempaka. Keningku langsung berkerut, karena seingatku ruangan tersebut adalah ruang kelas 3 yang biasa kami sebut kelas bangsal.
Tanpa Ba bi bu, kami langsung berangkat ke Rumah Sakit. Dan mulai mencari ruang Cempaka tempat teman kami dirawat. Kami menemukan ruangan tersebut berada dipojok bagian belakang Rumah Sakit. Kami mulai mencari-cari nama teman kami di papan nama pasien di depan ruangan. Saat mencari, seorang bapak di belakang kami sontak berkata : “Papan namanya sudah tak kepakai, dipakainya di Amerika”. Kami tersenyum kecut dan langsung masuk mencari ke dalam ruangan. Di ruang cempaka terdapat 4 ruang pasien yang setiap ruangnya terisi 10 pasien. Kami sempat kebingungan mencari teman kami yang dirawat, karena saking banyaknya pasien yang kerubungi oleh para anggota keluarganya. Ah, dasar ruang bangsal. Kutukku di hati.
Aku pun melongokkan kepala dan badan ke salah satu ruangan, dan mendapati temanku sedang duduk lemas dipojok ruangan ditemani salah satu teman kuliahnya. Wajahnya terlihat pucat dengan mata tanpa semangat. Selang infus masih mengalirkan cairan putih melalui tangannya. Disekitarnya terlihat pasien-pasien lain dengan berbagai macam penyakit. Di sebelahnya seorang bapak bertelanjang dada terbaring lemah. Menatap kosong kearah dinding seakan menunggu keluarganya yang belum datang. Tiga orang perawat masih mengerumuni seorang pasien yang terlihat parah. Sementara keluarganya terlihat duduk-duduk dan rebahan di lantai kamar yang pengap.
Bau tak sedap langsung terasa menyengat hidung saat kami masuki ruangan. Keringat-keringat kering bercampur dengan bau obat membuatku harus sedikit menahan nafas. Bibir pun kupaksa menyunggingkan senyuman ke arah temanku meski perut terasa mual. Dan temanku pun membalas senyuman dengan dengan wajah pucat. Kami pun berbincang tentang kondisi selama dia dirawat. Entah bagaimana dia bisa tahan dirawat diruangan tersebut. Benar-benar kuat pikirku. Di ruangan seperti itu, hampir-hampir sugesti untuk mempercepat kesembuhan tidak banyak didapatkannya. Yang terbayang dan dilihatnya pastilah keriuhan ruangan mirip bangsal setiap harinya. Ah teman, semoga Allah memberikan kesembuhan padamu.
Dalam obrolan kami, dia bercerita sejak dirawat di ruangan tersebut belum ada dokter yang memeriksanya, yang setiap hari mondar-mandir hanyalah perawat yang sedang peraktek lapangan dan sebatas dokter jaga. Jawaban yang diperolehnya saat dia bertanya adalah informasi bahwa pada hari libur dokter tidak masuk dan akan masuk pada hari selasa karena hari senin nanti juga hari libur nasional. Wah, kayaknya akhir pekan orang sakit harus ikut libur juga karena dokternya sedang liburan. Entah apakah setiap rumah sakit juga seperti ini. Jika sama seperti ini, maka alangkah malangnya pasien sekarat yang datang akhir pekan, pasti matinya pun disuruh menunda sampai awal pekan depan. Sungguh malang nian nasib orang sakit.
Tambahnya lagi, para perawat yang setiap hari mondar-mandir melayani pasien di ruangan tersebut, selalu terlihat seperti orang jutek. Hampir tidak ada senyum yang menghiasi bibir-bibir mereka. Tawa mereka sering terdengar di balik dinding kamar, tetapi ketika mereka kembali ke ruang pasien, kerenyahan tawa bahkan senyumnya menguap entah kemana. Betapa susah memberikan senyum kepada orang sakit karena muka para perawat lebih sering ditutup masker daripada memberikan empati dan sugesti kepada para pasien.
Saya pernah mendengar, selain obat-obatan, sugesti dari para dokter dan keluarga dapat mempercepat kesembuhan seseorang. Maka menurutku, sudah selayaknya para perawat serta dokter senantiasa bersikap ramah dan menunjukkan empatinya kepada setiap pasien yang mereka rawat. Bukankah hal tersebut dapat memberikan mereka ketenangan dan rasa optimis untuk cepat sembuh dari sakitnya. Jika penanganan pasien seperti tidak menunjukkan rasa empati, bagaimana pasien bisa cepat sembuh yang ada malah cepat mati.
Tetapi yang masih sedikit mengganjal dipikiranku, apakah kualitas pelayanan juga berbanding lurus dengan dimana seorang pasien ditempatkan. Karena temanku dirawat di ruang kelas 3, maka pelayanannya seperti itu. Jika saja dia ditempatkan diruang kelas VIP atau minimal kelas 1 mungkin tidak seperti itu. Ah, tetapi masa orang sakit harus ada pengkelasan? Aneh juga dunia ini. Semoga saja tidak. Karena harapan setiap orang adalah senantiasa mendapatkan kesehatan. Tetapi jika satu hari sakit, maka berdoalah agar Allah cepat memberikan kesembuhan untuk kita. Karena sehat memang mahal harganya. Saya juga berharap tulisan ini tidak ada yang tersinggung karena ini memang bukan untuk menyinggung seseorang taupun institusi tetapi hanya berbagi pengalaman dari seorang teman yang sedang merasakan betapa tidak enaknya merasakan sakit dan dirawat di ruang bangsal. Wallahu a’lam.
Cijawa, 20 Maret 2007 Saat malam hampir sempurna
Bangsal. Tentunya kat a ini pasti pernah kita dengar, Dan pikiran kita pasti akan langsung tertuju kepada tempat para prajurit atau tentara biasa tinggal. Ruangan tempat mereka beristirahat selama masa latihan. Satu ruangan dipakai untuk sekian banyak orang sehingga terasa sesak.
Hari Jum’at lalu seorang teman masuk Rumah Sakit. Terkena gejala typus dan demam berdarah. Aku bisa membayangkan badannya yang kurus mungkin terlihat semakin lemah. Biasa, temanku yang satu ini memang dikenal kurang bisa mengatur prioritas pekerjaan. Kadang-kadang begadang sampai semalam suntuk mengetik di depan komputer. Entah disebut pekerja keras atau keras kepala.
Aku sendiri tidak langsung menjenguk teman yang sakit tersebut, baru hari senin aku sempat atau lebih tepatnya aku sempatkan untuk menjenguk bersama temanku yang lain. Sebelumnya kami harus menghubungi teman yang sudah sempat menjenguk, dan kami diberitahu bahwa teman kami ditempatkan di ruang Cempaka. Keningku langsung berkerut, karena seingatku ruangan tersebut adalah ruang kelas 3 yang biasa kami sebut kelas bangsal.
Tanpa Ba bi bu, kami langsung berangkat ke Rumah Sakit. Dan mulai mencari ruang Cempaka tempat teman kami dirawat. Kami menemukan ruangan tersebut berada dipojok bagian belakang Rumah Sakit. Kami mulai mencari-cari nama teman kami di papan nama pasien di depan ruangan. Saat mencari, seorang bapak di belakang kami sontak berkata : “Papan namanya sudah tak kepakai, dipakainya di Amerika”. Kami tersenyum kecut dan langsung masuk mencari ke dalam ruangan. Di ruang cempaka terdapat 4 ruang pasien yang setiap ruangnya terisi 10 pasien. Kami sempat kebingungan mencari teman kami yang dirawat, karena saking banyaknya pasien yang kerubungi oleh para anggota keluarganya. Ah, dasar ruang bangsal. Kutukku di hati.
Aku pun melongokkan kepala dan badan ke salah satu ruangan, dan mendapati temanku sedang duduk lemas dipojok ruangan ditemani salah satu teman kuliahnya. Wajahnya terlihat pucat dengan mata tanpa semangat. Selang infus masih mengalirkan cairan putih melalui tangannya. Disekitarnya terlihat pasien-pasien lain dengan berbagai macam penyakit. Di sebelahnya seorang bapak bertelanjang dada terbaring lemah. Menatap kosong kearah dinding seakan menunggu keluarganya yang belum datang. Tiga orang perawat masih mengerumuni seorang pasien yang terlihat parah. Sementara keluarganya terlihat duduk-duduk dan rebahan di lantai kamar yang pengap.
Bau tak sedap langsung terasa menyengat hidung saat kami masuki ruangan. Keringat-keringat kering bercampur dengan bau obat membuatku harus sedikit menahan nafas. Bibir pun kupaksa menyunggingkan senyuman ke arah temanku meski perut terasa mual. Dan temanku pun membalas senyuman dengan dengan wajah pucat. Kami pun berbincang tentang kondisi selama dia dirawat. Entah bagaimana dia bisa tahan dirawat diruangan tersebut. Benar-benar kuat pikirku. Di ruangan seperti itu, hampir-hampir sugesti untuk mempercepat kesembuhan tidak banyak didapatkannya. Yang terbayang dan dilihatnya pastilah keriuhan ruangan mirip bangsal setiap harinya. Ah teman, semoga Allah memberikan kesembuhan padamu.
Dalam obrolan kami, dia bercerita sejak dirawat di ruangan tersebut belum ada dokter yang memeriksanya, yang setiap hari mondar-mandir hanyalah perawat yang sedang peraktek lapangan dan sebatas dokter jaga. Jawaban yang diperolehnya saat dia bertanya adalah informasi bahwa pada hari libur dokter tidak masuk dan akan masuk pada hari selasa karena hari senin nanti juga hari libur nasional. Wah, kayaknya akhir pekan orang sakit harus ikut libur juga karena dokternya sedang liburan. Entah apakah setiap rumah sakit juga seperti ini. Jika sama seperti ini, maka alangkah malangnya pasien sekarat yang datang akhir pekan, pasti matinya pun disuruh menunda sampai awal pekan depan. Sungguh malang nian nasib orang sakit.
Tambahnya lagi, para perawat yang setiap hari mondar-mandir melayani pasien di ruangan tersebut, selalu terlihat seperti orang jutek. Hampir tidak ada senyum yang menghiasi bibir-bibir mereka. Tawa mereka sering terdengar di balik dinding kamar, tetapi ketika mereka kembali ke ruang pasien, kerenyahan tawa bahkan senyumnya menguap entah kemana. Betapa susah memberikan senyum kepada orang sakit karena muka para perawat lebih sering ditutup masker daripada memberikan empati dan sugesti kepada para pasien.
Saya pernah mendengar, selain obat-obatan, sugesti dari para dokter dan keluarga dapat mempercepat kesembuhan seseorang. Maka menurutku, sudah selayaknya para perawat serta dokter senantiasa bersikap ramah dan menunjukkan empatinya kepada setiap pasien yang mereka rawat. Bukankah hal tersebut dapat memberikan mereka ketenangan dan rasa optimis untuk cepat sembuh dari sakitnya. Jika penanganan pasien seperti tidak menunjukkan rasa empati, bagaimana pasien bisa cepat sembuh yang ada malah cepat mati.
Tetapi yang masih sedikit mengganjal dipikiranku, apakah kualitas pelayanan juga berbanding lurus dengan dimana seorang pasien ditempatkan. Karena temanku dirawat di ruang kelas 3, maka pelayanannya seperti itu. Jika saja dia ditempatkan diruang kelas VIP atau minimal kelas 1 mungkin tidak seperti itu. Ah, tetapi masa orang sakit harus ada pengkelasan? Aneh juga dunia ini. Semoga saja tidak. Karena harapan setiap orang adalah senantiasa mendapatkan kesehatan. Tetapi jika satu hari sakit, maka berdoalah agar Allah cepat memberikan kesembuhan untuk kita. Karena sehat memang mahal harganya. Saya juga berharap tulisan ini tidak ada yang tersinggung karena ini memang bukan untuk menyinggung seseorang taupun institusi tetapi hanya berbagi pengalaman dari seorang teman yang sedang merasakan betapa tidak enaknya merasakan sakit dan dirawat di ruang bangsal. Wallahu a’lam.
Cijawa, 20 Maret 2007 Saat malam hampir sempurna
No comments:
Post a Comment