Oleh : M. Afzan
Perempatan Ciceri, Pukul 10.20 wib
Jum’at yang panas. Beberapa pemuda tanggung bergerombol di warung sebelah tambal ban. Pakaiannya kumal bin dekil, bolong bin sobek-sobek, rambut dicat mirip zebra cross membuat pandangan para pengguna jalan tertuju ke arah mereka. Mereka masih waras alias belum gila, hanya tampilannya yang beda. Bertubuh kurus (kalo tidak mau disebut ceking), anting-anting mampir di telinga, hidung dan bibir mereka. Entah apa maksud mereka dengan semua hal itu.
Menurutku, mereka ingin tampil funki, tetapi tanpa tampilan rapi dan dendi. Mungkin mereka adalah generasi muda yang menamakan diri mereka generasi anti kemapanan. Aku pernah baca disebuah majalah tentang anak-anak muda yang punya pemahaman seperti ini. Mereka rela meninggalkan kehidupan mereka yang mapan demi mendapatkan kebebasan.
Beberapa orang dari mereka masih asyik memetik senar gitarnya, sedang yang lain menyodorkan plastik tempat receh kepada para pemilik mobil. Tidak sembarang mobil mereka hampiri, mereka hanya memilih mobil-mobil milik orang kaya. Aku tidak tahu apa yang mereka dendangkan. Nyanyian sumbang mereka terlalu rendah dengan riuhnya jalanan. Aku sendiri pun mulai bosan memperhatikan gerak mereka. Karena tampilan mereka memang tidak nikmat untuk dipandang.
Cijawa, Pukul 13.00 wib
Selesai shalat jum’at, memori ingatanku kembali ke kejadian sekitar 6 tahun yang lalu. Saat itu aku baru menjadi mahasiswa. Di kampus ini ku lihat pemandangan yang lain, tentang mahasiswi berbaju longgar dengan kerudung yang menjuntai. Dalam benakku saat itu, mereka adalah pengikut salah satu aliran (shaolin ato wu tang ya’). Tetapi aku tidak mau ambil pusing ‘buat apa mikirin orang, aku saja masih belum bener’ pikirku saat itu.
Beberapa bulan kemudian (aku lupa tepatnya bulan apa), aku bertemu dengan mereka kembali (para jilbaber), tahu kan dimana? Ya di DM I KAMMI. Aku tidak pernah menyangka bahwa mereka adalah para aktivis KAMMI. Aku masih menganggap mereka adalah orang-orang aneh. Sungguh, perempuan yang berpenampilan seperti mereka masih jarang saat itu. Jadi menurutku wajar aku menganggap mereka aneh.
Peserta DM I waktu itu, banyak yang berasal dari kampusku. Sebagian walaupun aku belum kenal tetapi sering aku lihat berlalu lalang di kampus. Ada yang berubah dari mereka. Tampilannya lebih alim dan rapi. Yang perempuannya pun berpenampilan sopan alias tidak berbaju lepet. Sangat berbeda dengan kesehariannya di kampus. Mimpi kejatuhan bulan kali mereka.. bisa berubah secepat itu.
Ingatanku kembali. Aku berandai-andai jika para pemuda tanggung dan para aktivis KAMMI berkumpul dalam satu tempat. Tidak dengan aktivis perempuannya, tetapi cukup dengan aktivis laki-lakinya. Pasti terlihat kontras. Yang satu berpenampilan lusuh dan kumal sedangkan yang lain terlihat rapi. Andai mereka duduk bersebelahan, kemudian ada orang awam datang dan hendak bergabung, pasti mereka akan memilih duduk berdekatan dengan para aktivis KAMMI. Ingin tahu alasannya? Tanya kenapa. By the way, saat awal-awal mengenal KAMMI melalui para aktivis lelakinya (aku kan ga banyak bergaul dengan yang perempuannya), selain diajarkan untuk senantiasa melawan kedzaliman aku pun diajarkan tentang cara berpenampilan yang mengundang simpati. Tetapi bukan diajarkan menjadi lelaki metroseksual yang turun dari planet venus lho. melainkan diajarkan untuk memahami bahwa penampilan adalah bagian dari dakwah. Berpenampilan trendi bukan untuk sekedar menarik simpati, tetapi karena tanggung jawab sebagai penyeru kebenaran.
Nahnu du’at qabla kulli syai’in. kata pembicara saat ta’lim (MK I) KAMMI saat itu. Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Ikon iklan lawas ini kembali menjadi sebuah semacam pembenaran dari pembicara taklim saat itu. Sang pembicara melanjutkan, bahwa dakwah ini menginginkan kita menjadi seorang da’I sebelum kita melakukan apapun. Masyarakat disekitar kita harus bisa mengenali kita sebagai da’I sebelum kita bergerak mengajak mereka. Awalnya aku tidak terlalu memperdulikan. Dalam berpenampilan, aku sendiri lebih senang memakai pakaian yang simple seperti kaos daripada memakai kemeja (bahkan sampai sekarang lho).
Identitas
Jika hari ini kita mengadakan survei kepada para mahasiswa tentang apa yang mereka ketahui tentang KAMMI dan para aktivisnya. Jawabannya tidak jauh dari si tukang demo, laki-lakinya banyak yang memlihara jenggot, perempuannya berpakaian longgar dan berjilbab lebar.
Imej tersebut telah menjadi identitas bagi KAMMI dan para aktivisnya. Identitas ini bukan hal yang buruk dan tidak mesti dirubah. Kecuali beberapa kekurangan yang juga mesti dibenahi. Identitas kita adalah citra diri kita. Meski aku juga pernah mendengar kalimat Don’t Buy a Book With a Cover, namun kebanyakan masyarakat disekitar kita masih menilai seseorang dari sesuatu yang melekat pada tubuh kita.
Salahkah mereka? Mungkin juga tidak. Karena sebagai da’I, kita dituntut untuk senantiasa memperhatikan semua hal yang ada pada diri kita. Termasuk pakaian dan penampilan. Bukankah ketika Rasulullah mengutus salah seorang sahabat ke Madinah (Yatsrib), yang dia utus adalah Mus’ab bin Umair. Dia dikenal sebagai salah seorang pemuda yang dikaruniai wajah yang tampan, cerdas dan juga berasal dari keluarga yang cukup berada. Untuk ukuran saat itu, mungkin tampilannya termasuk sudah trendi. Sebelum masuk Islam, kehadiran Mus’ab selalu dinanti para gadis kota Mekkah yang ingin memandang pujaan hatinya. Penampilannya senantiasa mencerminkan kepiawaian dan kecerdasannya.
Sebagai seorang aktivis dakwah, kita bukan hanya milik kalangan sendiri. Tetapi kita adalah milik umat. Tentu kita menginginkan umat selalu memperhatikan kita. Agar senantiasa diperhatikan tentu kita harus tampil semenarik mungkin (tentunya tanpa mengesampingkan syari’at). Masih terjadi di sebagian aktivis KAMMI ketidak pede-an menyandang gelar seorang da’i. Jika kebathilan saja berani dan lantang menggemakan suaranya, mengapa kita tidak. Tengoklah para pemuda yang aku temui di perempatan Ciceri tadi. Mereka tidak peduli dengan tatapan para pejalan. Mereka tetap percaya diri dengan tampilan mereka, padahal sebenarnya identitas mereka telah tergadai oleh mode. Lalu bagaimana dengan kita? Jangan-jangan untuk mengakui bahwa kita anggota KAMMI saja kita masih malu. Wallahu a’lam. (Maret 2006)
Jum’at yang panas. Beberapa pemuda tanggung bergerombol di warung sebelah tambal ban. Pakaiannya kumal bin dekil, bolong bin sobek-sobek, rambut dicat mirip zebra cross membuat pandangan para pengguna jalan tertuju ke arah mereka. Mereka masih waras alias belum gila, hanya tampilannya yang beda. Bertubuh kurus (kalo tidak mau disebut ceking), anting-anting mampir di telinga, hidung dan bibir mereka. Entah apa maksud mereka dengan semua hal itu.
Menurutku, mereka ingin tampil funki, tetapi tanpa tampilan rapi dan dendi. Mungkin mereka adalah generasi muda yang menamakan diri mereka generasi anti kemapanan. Aku pernah baca disebuah majalah tentang anak-anak muda yang punya pemahaman seperti ini. Mereka rela meninggalkan kehidupan mereka yang mapan demi mendapatkan kebebasan.
Beberapa orang dari mereka masih asyik memetik senar gitarnya, sedang yang lain menyodorkan plastik tempat receh kepada para pemilik mobil. Tidak sembarang mobil mereka hampiri, mereka hanya memilih mobil-mobil milik orang kaya. Aku tidak tahu apa yang mereka dendangkan. Nyanyian sumbang mereka terlalu rendah dengan riuhnya jalanan. Aku sendiri pun mulai bosan memperhatikan gerak mereka. Karena tampilan mereka memang tidak nikmat untuk dipandang.
Cijawa, Pukul 13.00 wib
Selesai shalat jum’at, memori ingatanku kembali ke kejadian sekitar 6 tahun yang lalu. Saat itu aku baru menjadi mahasiswa. Di kampus ini ku lihat pemandangan yang lain, tentang mahasiswi berbaju longgar dengan kerudung yang menjuntai. Dalam benakku saat itu, mereka adalah pengikut salah satu aliran (shaolin ato wu tang ya’). Tetapi aku tidak mau ambil pusing ‘buat apa mikirin orang, aku saja masih belum bener’ pikirku saat itu.
Beberapa bulan kemudian (aku lupa tepatnya bulan apa), aku bertemu dengan mereka kembali (para jilbaber), tahu kan dimana? Ya di DM I KAMMI. Aku tidak pernah menyangka bahwa mereka adalah para aktivis KAMMI. Aku masih menganggap mereka adalah orang-orang aneh. Sungguh, perempuan yang berpenampilan seperti mereka masih jarang saat itu. Jadi menurutku wajar aku menganggap mereka aneh.
Peserta DM I waktu itu, banyak yang berasal dari kampusku. Sebagian walaupun aku belum kenal tetapi sering aku lihat berlalu lalang di kampus. Ada yang berubah dari mereka. Tampilannya lebih alim dan rapi. Yang perempuannya pun berpenampilan sopan alias tidak berbaju lepet. Sangat berbeda dengan kesehariannya di kampus. Mimpi kejatuhan bulan kali mereka.. bisa berubah secepat itu.
Ingatanku kembali. Aku berandai-andai jika para pemuda tanggung dan para aktivis KAMMI berkumpul dalam satu tempat. Tidak dengan aktivis perempuannya, tetapi cukup dengan aktivis laki-lakinya. Pasti terlihat kontras. Yang satu berpenampilan lusuh dan kumal sedangkan yang lain terlihat rapi. Andai mereka duduk bersebelahan, kemudian ada orang awam datang dan hendak bergabung, pasti mereka akan memilih duduk berdekatan dengan para aktivis KAMMI. Ingin tahu alasannya? Tanya kenapa. By the way, saat awal-awal mengenal KAMMI melalui para aktivis lelakinya (aku kan ga banyak bergaul dengan yang perempuannya), selain diajarkan untuk senantiasa melawan kedzaliman aku pun diajarkan tentang cara berpenampilan yang mengundang simpati. Tetapi bukan diajarkan menjadi lelaki metroseksual yang turun dari planet venus lho. melainkan diajarkan untuk memahami bahwa penampilan adalah bagian dari dakwah. Berpenampilan trendi bukan untuk sekedar menarik simpati, tetapi karena tanggung jawab sebagai penyeru kebenaran.
Nahnu du’at qabla kulli syai’in. kata pembicara saat ta’lim (MK I) KAMMI saat itu. Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Ikon iklan lawas ini kembali menjadi sebuah semacam pembenaran dari pembicara taklim saat itu. Sang pembicara melanjutkan, bahwa dakwah ini menginginkan kita menjadi seorang da’I sebelum kita melakukan apapun. Masyarakat disekitar kita harus bisa mengenali kita sebagai da’I sebelum kita bergerak mengajak mereka. Awalnya aku tidak terlalu memperdulikan. Dalam berpenampilan, aku sendiri lebih senang memakai pakaian yang simple seperti kaos daripada memakai kemeja (bahkan sampai sekarang lho).
Identitas
Jika hari ini kita mengadakan survei kepada para mahasiswa tentang apa yang mereka ketahui tentang KAMMI dan para aktivisnya. Jawabannya tidak jauh dari si tukang demo, laki-lakinya banyak yang memlihara jenggot, perempuannya berpakaian longgar dan berjilbab lebar.
Imej tersebut telah menjadi identitas bagi KAMMI dan para aktivisnya. Identitas ini bukan hal yang buruk dan tidak mesti dirubah. Kecuali beberapa kekurangan yang juga mesti dibenahi. Identitas kita adalah citra diri kita. Meski aku juga pernah mendengar kalimat Don’t Buy a Book With a Cover, namun kebanyakan masyarakat disekitar kita masih menilai seseorang dari sesuatu yang melekat pada tubuh kita.
Salahkah mereka? Mungkin juga tidak. Karena sebagai da’I, kita dituntut untuk senantiasa memperhatikan semua hal yang ada pada diri kita. Termasuk pakaian dan penampilan. Bukankah ketika Rasulullah mengutus salah seorang sahabat ke Madinah (Yatsrib), yang dia utus adalah Mus’ab bin Umair. Dia dikenal sebagai salah seorang pemuda yang dikaruniai wajah yang tampan, cerdas dan juga berasal dari keluarga yang cukup berada. Untuk ukuran saat itu, mungkin tampilannya termasuk sudah trendi. Sebelum masuk Islam, kehadiran Mus’ab selalu dinanti para gadis kota Mekkah yang ingin memandang pujaan hatinya. Penampilannya senantiasa mencerminkan kepiawaian dan kecerdasannya.
Sebagai seorang aktivis dakwah, kita bukan hanya milik kalangan sendiri. Tetapi kita adalah milik umat. Tentu kita menginginkan umat selalu memperhatikan kita. Agar senantiasa diperhatikan tentu kita harus tampil semenarik mungkin (tentunya tanpa mengesampingkan syari’at). Masih terjadi di sebagian aktivis KAMMI ketidak pede-an menyandang gelar seorang da’i. Jika kebathilan saja berani dan lantang menggemakan suaranya, mengapa kita tidak. Tengoklah para pemuda yang aku temui di perempatan Ciceri tadi. Mereka tidak peduli dengan tatapan para pejalan. Mereka tetap percaya diri dengan tampilan mereka, padahal sebenarnya identitas mereka telah tergadai oleh mode. Lalu bagaimana dengan kita? Jangan-jangan untuk mengakui bahwa kita anggota KAMMI saja kita masih malu. Wallahu a’lam. (Maret 2006)
No comments:
Post a Comment