Oleh : M. Afzan
Hampir sebulan ini aku telah kehilangan banyak waktu untuk membaca. Kebiasaan yang sudah aku dawam-kan sejak beberapa bulan yang lalu seakan telah mencapai titik jenuhnya. Bukan karena malas yang mulai datang, tetapi waktu seakan tidak memberiku kesempatan untuk sekedar duduk tenang sambil memegang buku. Ah, malangya hari-hariku yang hanya berkutat dengan pekerjaan yang setiap hari tidak pernah habis. Sekedar membaca saja menjadi pekerjaan yang berat karena fisik dan pikiran terkuras dan menjadi penat.
Sejak kemarin waktu mengizinkanku menggenggam buku meski hanya sebentar. Hari ini aku pun memulainya saat hari menjelang petang. Bukan buku yang istimewa, karena temanya sudah biasa untukku. Tetapi aku tetap berharap ada informasi baru yang akan didapatkan.
Pada halaman 44-46 aku menghentikan gerak mataku. Tulisan pada tiga halaman tersebut membuatku merenung dan mengingat kembali banyak kejadian dalam hidupku. Pada halaman 45-46, sang penulis mengutip sebuah tulisan pada majalah intisari.
Pada suatu hari, seorang raja di sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara melukis dengan hadiah yang besar. Maka segenap pelukis negeri itupun berlomba-lomba mengikuti sayembara tersebut. Untuk memudahkan, sang raja membentuk satu kepanitiaan, yang bertugas menyeleksi dua buah lukisan yang terbaik untuk diserahkan kepada raja. Dimana rajalah yang kemudian menentukan pemenangnya.
Maka terpilihlah 2 buah lukisan. Lukisan itupun dipajang di alun-alun, sehingga warga bisa menikmatinya dengan leluasa. Lukisan pertama, sebuah lukisan pemandangan alam. Terdapat gunung dengan pucuk-pucuk pohon yang indah, memayungi sebuah danau biru yang sejuk. Langit tampak cerah, dan bergerombol burung tengah terbang di angkasa. Sebuah nuansa damai yang ideal.
Adapun lukisan kedua, adalah sebuah lukisan badai. Hujan turun sangat deras, membuat tanahyang gersang terkikis menjadi banjir bandang yang dahsyat. Sebuah sungai meluap, air terjunnya memunceratkan air yang melewati debit maksimumnya. Sementara di langit peir menyambar-nyambar.
Seluruh warga yang menyaksikan hal tersebut sudah memastikan, bahwa lukisan pertamalah yang bakal memenangi sayembara tersebut. Ternyata dugaan mereka salah. Pemenangnya adalah lukisan kedua.
“Perhatikan lukisan itu!” Kata Sang Raja. “Di tengah badai, ternyata ada sebuah sarang burung yang terdapat di bawah air terjun. Di sarang tersebut, ada seekor induk yang tengah memberi anak-anaknya dengan penuh cinta kasih.”
Itulah damai yang sesungguhnya. Ketika kita berhasil menciptakan sesuatu yang membahagiakan di tengah kemelut yang menimpa kita.
Beberapa bulan yang lalu, di daerahku mengadakan Pilkada Gubernur. Aku ikut membantu tim pemenangan salah satu pasangan calon menjadi bagian kesekretariatan sekaligus merangkap pemegang kas. Lelahnya bukan hanya dalam hitungan hari tetapi hampir sampai enam bulan. sejak masa persiapan hingga pasca pemilihan. Selama waktu itu, aku harus berinteraksi dengan berbagai macam tipe orang, setiap hari dari pagi hingga tengah malam tidak henti orang datang. Meski sebagian dari mereka datang dengan tujuan tidak jelas. Belum lagi menghadapi para anggota tim sendiri yang berbeda-beda pola kerja. Benar-benar sangat melelahkan.
Tekanan-tekanan menghadapi berbagai macam tipe orang membuatku stres hingga sekitar lima hari aku menghilang dan pergi ketempat seorang teman. Selama menjadi bagian tim, aku melihat ada orang yang masih bisa tertawa senang seolah tidak merasakan tekanan sedangkan aku dan beberapa orang lainnya untuk tersenyum saja menjadi sesuatu yang sulit. Pernah satu hari saking tertekannya, aku meninggalkan pekerjaan dan membiarkannya berantakan. Hari itu aku ngambek seharian.
Kini semua itu sudah selesai, sejak semuanya berakhir aku mulai merenungi kembali kejadian-kejadian saat masa pilkada kemarin. Betapa saat itu aku sering bersifat kekanak-kanakan dan meninggalkan amanah yang dibebankan. Teringat perkataan orang bijak, “Problem make we wise.” Masalah membuat kita bijak. Perkataan bijak ini tidak salah, jika masalah yang kita hadapi coba kita cari solusinya dan diselesaikan dengan baik, bukan malah ditinggalkan.
Tidak ada masalah yang akan mendewasakan kita ketika disikapi dengan kekanak-kanakan atau bahkan lari darinya. Semakin kita berlari menghindari masalah sesungguhnya kita telah menambah jumlah masalah. Lari atau tidak, masalah pasti akan terus ada dan mengikuti gerak langkah kita. Cara satu-satunya mengurangi bebannya adalah dengan melawannya sampai Allah yang akan menentukan takdir-Nya. Dan akhirnya bersiaplah mendapatkan kedamaian dari setiap masalah yang kita temukan. Wallahu a’lam.
“Semoga jalan keluar terbuka, Semoga kita bisa mengobati jiwa kita dengan do’a. Janganlah kau berputus asa manakala kecemasan yang menggenggam jiwa menimpa. Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah ketika telah terbentur pada putus asa.” (Seorang sahabat).
Serang, 16 April 2007
Hampir sebulan ini aku telah kehilangan banyak waktu untuk membaca. Kebiasaan yang sudah aku dawam-kan sejak beberapa bulan yang lalu seakan telah mencapai titik jenuhnya. Bukan karena malas yang mulai datang, tetapi waktu seakan tidak memberiku kesempatan untuk sekedar duduk tenang sambil memegang buku. Ah, malangya hari-hariku yang hanya berkutat dengan pekerjaan yang setiap hari tidak pernah habis. Sekedar membaca saja menjadi pekerjaan yang berat karena fisik dan pikiran terkuras dan menjadi penat.
Sejak kemarin waktu mengizinkanku menggenggam buku meski hanya sebentar. Hari ini aku pun memulainya saat hari menjelang petang. Bukan buku yang istimewa, karena temanya sudah biasa untukku. Tetapi aku tetap berharap ada informasi baru yang akan didapatkan.
Pada halaman 44-46 aku menghentikan gerak mataku. Tulisan pada tiga halaman tersebut membuatku merenung dan mengingat kembali banyak kejadian dalam hidupku. Pada halaman 45-46, sang penulis mengutip sebuah tulisan pada majalah intisari.
Pada suatu hari, seorang raja di sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara melukis dengan hadiah yang besar. Maka segenap pelukis negeri itupun berlomba-lomba mengikuti sayembara tersebut. Untuk memudahkan, sang raja membentuk satu kepanitiaan, yang bertugas menyeleksi dua buah lukisan yang terbaik untuk diserahkan kepada raja. Dimana rajalah yang kemudian menentukan pemenangnya.
Maka terpilihlah 2 buah lukisan. Lukisan itupun dipajang di alun-alun, sehingga warga bisa menikmatinya dengan leluasa. Lukisan pertama, sebuah lukisan pemandangan alam. Terdapat gunung dengan pucuk-pucuk pohon yang indah, memayungi sebuah danau biru yang sejuk. Langit tampak cerah, dan bergerombol burung tengah terbang di angkasa. Sebuah nuansa damai yang ideal.
Adapun lukisan kedua, adalah sebuah lukisan badai. Hujan turun sangat deras, membuat tanahyang gersang terkikis menjadi banjir bandang yang dahsyat. Sebuah sungai meluap, air terjunnya memunceratkan air yang melewati debit maksimumnya. Sementara di langit peir menyambar-nyambar.
Seluruh warga yang menyaksikan hal tersebut sudah memastikan, bahwa lukisan pertamalah yang bakal memenangi sayembara tersebut. Ternyata dugaan mereka salah. Pemenangnya adalah lukisan kedua.
“Perhatikan lukisan itu!” Kata Sang Raja. “Di tengah badai, ternyata ada sebuah sarang burung yang terdapat di bawah air terjun. Di sarang tersebut, ada seekor induk yang tengah memberi anak-anaknya dengan penuh cinta kasih.”
Itulah damai yang sesungguhnya. Ketika kita berhasil menciptakan sesuatu yang membahagiakan di tengah kemelut yang menimpa kita.
Beberapa bulan yang lalu, di daerahku mengadakan Pilkada Gubernur. Aku ikut membantu tim pemenangan salah satu pasangan calon menjadi bagian kesekretariatan sekaligus merangkap pemegang kas. Lelahnya bukan hanya dalam hitungan hari tetapi hampir sampai enam bulan. sejak masa persiapan hingga pasca pemilihan. Selama waktu itu, aku harus berinteraksi dengan berbagai macam tipe orang, setiap hari dari pagi hingga tengah malam tidak henti orang datang. Meski sebagian dari mereka datang dengan tujuan tidak jelas. Belum lagi menghadapi para anggota tim sendiri yang berbeda-beda pola kerja. Benar-benar sangat melelahkan.
Tekanan-tekanan menghadapi berbagai macam tipe orang membuatku stres hingga sekitar lima hari aku menghilang dan pergi ketempat seorang teman. Selama menjadi bagian tim, aku melihat ada orang yang masih bisa tertawa senang seolah tidak merasakan tekanan sedangkan aku dan beberapa orang lainnya untuk tersenyum saja menjadi sesuatu yang sulit. Pernah satu hari saking tertekannya, aku meninggalkan pekerjaan dan membiarkannya berantakan. Hari itu aku ngambek seharian.
Kini semua itu sudah selesai, sejak semuanya berakhir aku mulai merenungi kembali kejadian-kejadian saat masa pilkada kemarin. Betapa saat itu aku sering bersifat kekanak-kanakan dan meninggalkan amanah yang dibebankan. Teringat perkataan orang bijak, “Problem make we wise.” Masalah membuat kita bijak. Perkataan bijak ini tidak salah, jika masalah yang kita hadapi coba kita cari solusinya dan diselesaikan dengan baik, bukan malah ditinggalkan.
Tidak ada masalah yang akan mendewasakan kita ketika disikapi dengan kekanak-kanakan atau bahkan lari darinya. Semakin kita berlari menghindari masalah sesungguhnya kita telah menambah jumlah masalah. Lari atau tidak, masalah pasti akan terus ada dan mengikuti gerak langkah kita. Cara satu-satunya mengurangi bebannya adalah dengan melawannya sampai Allah yang akan menentukan takdir-Nya. Dan akhirnya bersiaplah mendapatkan kedamaian dari setiap masalah yang kita temukan. Wallahu a’lam.
“Semoga jalan keluar terbuka, Semoga kita bisa mengobati jiwa kita dengan do’a. Janganlah kau berputus asa manakala kecemasan yang menggenggam jiwa menimpa. Saat paling dekat dengan jalan keluar adalah ketika telah terbentur pada putus asa.” (Seorang sahabat).
Serang, 16 April 2007
Untuk seorang sahabat; Terima kasih atas taushiyah-taushiyahmu selama ini.
No comments:
Post a Comment